[DILEMA - "Pelik Perpisahan"]
1/
Semesta senantiasa mensyahdukan diorama
kasih yang tengah berkisah.
Melukis rasi paling tepat.
Mengawal, melaju sampai penantian
dan pemberhentian paling akhir.
Sekelebat. Tata panggung memuram
kelabu. Menyisir jadi pilu paling
biru. Menambah hitam yang
sudah buram. Kronik wabah
menyemai pertengkaran antar hati.
Bergelora memisahkan kata
kepemilikan, "kita".
Dan satu jam sebelum
matahari harmonis tergelincir.
Jantungku berdegup. Mataku sayup.
Bibirku terkatup.
Masing-masing bersiap
menjadi sepasang kesepian.
2/
Langit sudah lembayung saat
mataku bersitatap dengan laut.
Awan yang berpijar lihai
membentuk kalung. Dan kita
menjelma liontin. Pusat guratan
tata batin.
Menunggumu di kantukku adalah
hal paling menyenangkan. Padahal
kau pasti melupakan.
Delik-delik semu wabah
cepat berlalu. Bis kota,
pengendara pribadi dan seluruh
lantunan nada perkotaan merangkum
kesedihan dalam pelik kesunyian.
Kedatangan menyerupa penantian
abadi. Penantian tanpa kejadian.
Dan cinta kepada mu.
Menjatuhkan kata sifat paling
muram yang pernah ku dera.
Aku iri pada kacamata
yang kau kenakan. Punggungnya
tidak berjarak dengan kelopak
matamu. Kau bahkan tidak
bisa melihat laut
yang ku tatap tanpanya.
Kau rimbunan unggun rasa
yang menyemarak dalam dada.
Juga mata pancing yang
menyambar pilu paling dalam.
Pada suatu menjelang pagi.
Aku terisak berharap batas
jarak cepat berlalu. Menggapai
lengan demi lengan. Melumat
lusin demi lusin obrolan hangat.
Aku senang mempertanyakan
guratan takdir paling bahagia.
Lalu meratap pada sang maha,
"Gusti! Rekatkan dia padaku.
Dengan segala sorai yang
hampir selesai. Demi sanubari
yang penuh peluh."
Sementara jemarimu senantiasa menggapit
satu sama lain. Melantunkan tirakat
kita segera usai.
Penulis: Andiko
Posting Komentar
0 Komentar