[DILEMA - PEMBERITAAN KASUS PROSTITUSI ARTIS DAN KEKERASAN SIMBOLIK]


PEMBERITAAN KASUS PROSTITUSI ARTIS DAN KEKERASAN SIMBOLIK

 Karya: Dimas Wira Adiatama

Kasus prostitusi merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial yang seringkali disematkan dalam dunia gemerlap artis di Indonesia, di samping kasus-kasus lain seperti tindak kekerasan maupun narkoba. Banyak analisis mengenai penyebab terjadinya kasus tersebut, mulai dari kebutuhan ekonomi hingga soal menaikkan popularitas. Tentu hal tersebut menjadi salah informasi yang dihimpun oleh media massa untuk kemudian diinformasikan kepada masyarakat. Reaksi dan respon masyarakat terhadap kasus tersebut muncul seiring dengan semakin tersebarnya pemberitaan, mulai dari ucapan keprihatinan, sikap menyayangkan, kecaman, sampai bahkan pem-bully­-an. Apalagi di era digital seperti sekarang ini, kecepatan dan kemudahan akses informasi membuat reaksi dan respon masyarakat juga terhimpun dengan sangat cepat. Media sosial menjadi salah satu platform yang sangat ampuh dalam penyebaran pemberitaan mengenai kasus prostitusi artis.

Secara sosiologis, media massa—baik cetak maupun digital—merupakan salah satu agen sosialiasi. Sosialisasi merupakan proses penanaman nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, salah satu nilai tersebut adalah informasi. Label bahwa dunia artis—khususnya perempuan—identik dengan potensi lahirnya kasus prostitusi tidak bisa dilepaskan dengan peran media massa dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Meskipun terdapat agen-agen sosialisasi yang lain seperti keluarga dan sekolah, tidak dapat dipungkiri bahwa media massa—khususnya digital—memainkan peran yang sangat dominan dalam mengkonstruksikan cara pandang masyarakat. Tentu untuk sampai pada titik mengkonstruksikan cara pandang masyarakat, pemberitaan media massa atas kasus prostitusi artis membutuhkan framing yang tepat, pilihan konten yang diberitakan, serta intensitas pemberitaan.

Ketika muncul pemberitaan mengenai kasus prostitusi artis, seringkali masyarakat digiring untuk fokus spesifik pada artis yang terjerat. Mulai dari siapa artis tersebut, seperti apa kehidupannya, bagaimana latar belakang keluarganya, berelasi dengan siapa saja, dsb. Bahkan meskipun identitas artis tersebut telah disamarkan dengan sebuah inisial, pada akhirnya media membuka identitas sesungguhnya dari inisial tersebut, meskipun terdapat dalih bahwa hal tersebut merupakan sebuah asumsi ataupun hasil tebakan masyarakat. Ditambah lagi konten pemberitaan yang mendeskripsikan peristiwa terjadinya penggrebekan oleh polisi di mana di dalamnya juga dideskripsikan kondisi dari artis tersebut. Itulah yang membuat masyarakat cenderung lebih fokus pada artis yang terlibat kasus prostitusi, dibandingkan dengan kasusnya secara hukum apalagi posisi dan peran media massa secara sosiologis.

Kekerasan Simbolik

Jika diperhatikan, fokus media massa—khususnya digital—dalam pemberitaan terhadap artis yang terjerat kasus prostitusi merupakan bentuk dari kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan salah satu konsep dalam teori sosial milik Sosiolog asal Prancis, yaitu Pierre Bourdieu. Kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan yang paling halus, dikenakan kepada agen-agen sosial—baik individu maupun kelompok—tanpa mengundang resistensi, sebaliknya justru dianggap sebuah konformitas, sebab sudah mendapat legitimasi sosial. Tidak ada kontak fisik dalam kekerasan ini, karena kekerasan simbolik berbasiskan bahasa—dalam hal ini dapat berwujud teks, tulisan, maupun simbol-simbol tertentu. Tentu dibalik kekerasan simbolik terdapat pihak yang memiliki kekuasaan simbolik, sehingga dapat mengendalikan bahasa dan mengkonstruksikan realitas, serta dapat membuat definisi-definisi tertentu, seperti baik/buruk maupun benar/salah. Karena kekerasan simbolik bekerja secara halus, tidak mengundang resistensi, bahkan dianggap sebuah konformitas, maka korban tidak akan menyadarinya.

Dalam konteks pemberitaan terhadap artis yang terlibat kasus prostitusi, pihak yang memiliki kekuasaan simbolik adalah media massa. Informasi yang disebarkan media massa merupakan bagian dari bahasa yang berwujud teks, teks tersebut mengandung simbol-simbol dan makna-makna tertentu yang kemudian memengaruhi sudut pandang pembacanya—dalam hal ini masyarakat. Pihak yang menjadi korban adalah artis yang menjadi objek pemberitaan, hal tersebut dikarenakan dia tidak memiliki kekuasaan simbolik, dia tidak mampu mengendalikan pemberitaan atas kasus yang menjeratnya. Segala macam informasi atas kasusnya—baik kronologi kejadian, sebab, dsb—berada dalam kendali media massa. Kondisi atas artis yang terjerat kasus prostitusi—pasca kasus—sepenuhnya ditentukan oleh media massa, sang artis tidak mampu mengintervensinya. Disinilah terjadi kekerasan simbolik.

Misalnya pemberitaan tentang identitas sesungguhnya dari artis yang terlibat kasus prostitusi, hal tersebut tentu berimbas pada pandangan masyarakat terhadapnya. Pada dasarnya tindak prostitusi dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan sosial dalam tata nilai masyarakat Indonesia, ketika identitas artis tersebut terbongkar maka label “penyimpang” secara otomatis tersemat kepadanya. Belum lagi dengan pemberitaan mengenai deskripsi peristiwa, misalnya artis tersebut digrebek dalam kondisi tidak berbusana maupun ditemukannya alat kontrasepsi, hal tersebut tentu secara tidak langsung melecehkan artis tersebut. Selain itu, seringkali pemberitaan atas kasus prostitusi artis—khususnya perempuan—fokus hanya pada artis tersebut. Identitas pihak lain seperti mucikari maupun laki-laki hidung belang tidak terberitakan dengan intens, sehingga pihak yang harus menanggung beban atas reaksi dan respon masyarakat adalah artis itu sendiri. Ditambah lagi dengan pengusutan atas gaya hidup, latar belakang keluarga, serta relasi sang artis, membuat beban artis tersebut tidak hanya berkaitan dengan kasus prostitusi yang sedang menjeratnya, tetapi juga atas dampak yang ditimbulkan dari pengusutan tersebut.

Analisis mengenai adanya kekerasan simbolik dalam pemberitaan kasus prostitusi artis, dapat menjadi sebuah kritikan bagi media massa. Sudah menjadi fakta sosiologis bahwa media massa menjadi salah satu agen dalam membentuk cara pandang masyarakat, oleh karena itu hendaknya media massa tidak menjadi media penghakiman individu maupun kelompok, melainkan menjadi agen sosialisasi yang berorientasi pada kebenaran dan pencerahan.

Posting Komentar

0 Komentar