[DILEMA] - Penulisan Ulang Sejarah Resmi Indonesia : Niat jahat dan Proses Awal Terbentuknya Kolonialisme Pribumi


Judul: Penulisan Ulang Sejarah Resmi Indonesia : Niat Jahat dan Proses Awal Terbentuknya Kolonialisme Pribumi

Penulis: Dimas Galih

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa….” mengutip langsung dari Pembukaan UUD 1945 alinea pertama, rasanya sudah jelas bahwa negara Indonesia membenci dengan sepenuh hati akan sifat kolonialisme yang tidak berperikemanusiaan dan perikeadilan. Namun, Indonesia justru tidak memperhatikan sisi internal dari warga negara, mereka membenci penindasan, penjajahan, dan bentuk kolonialisme dari negara dominan ke negara nirkuasa. Akan tetapi, beberapa kebijakan pemerintah justru bersifat menjajah dan menjadi ‘kolonial’ bagi negara sendiri. Kata kolonial tidaklah melulu terkait penjajah, tapi secara etimologi dapat diartikan sebagai praktik politik, ekonomi, dan sosial dimana sebuah negara atau kekuatan asing mengeksploitasi, mendominasi, dan mengontrol wilayah, sumber daya, dan masyarakat dari negara atau wilayah lain untuk kepentingan ekonomi, politik, atau budaya mereka sendiri. Negara bukan menjadi penjaga warga negara, justru negara memeras warga negara. Kata peras yang dimaksud bukanlah melulu soal ekonomi, melainkan juga perihal negara yang terus menghilangkan peran warga negara sebagai subjek, dan menjadikan warga negara sebagai objek. Menghilangkan warga negara dari segala haknya, hak untuk berpendapat (tercermin dari banyaknya kebijakan yang dibuat tanpa persetujuan warga negara), hak untuk memperoleh kesehatan (tercermin dari banyaknya proyek pabrik yang menimbulkan polusi, tapi diberi persetujuan oleh negara),juga hak untuk memiliki pendidikan yang layak (tercermin dari akses pendidikan yang sulit, kurikulum yang sulit untuk diikuti baik oleh peserta didik ataupun oleh pengajar).

Padahal hak-hak tersebut apabila tidak terpenuhi, maka sama saja seperti tindakan dehumanisasi atau tindakan yang menyimpang dari hak manusia. Seperti halnya dengan rancangan penulisan ulang buku ‘babon’ sejarah yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan, dalam proyek yang melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, dan 3 editor umum dari kalangan akademisi lintas bidang ilmu baik arkeologi, geografi, sejarah dan ilmu humaniora lainnya. Dalam pertemuan yang sama, Fadli menegaskan bahwasannya buku ‘babon’ ini bertujuan untuk meluruskan beberapa sejarah yang dirasa kurang relevan dan menghilangkan bias kolonialisme di dalamnya. Atau bisa dikatakan rancangan penulisan buku ini adalah menciptakan sejarah yang nantinya bisa mempersatukan bangsa, sehingga harus menciptakan tone yang lebih positif dengan ‘meromantisasi’ isi dari 10 jilid di buku ini. Proses romantisasi buku ini tentu ada sangkut pautnya dengan menghilangkan masa lalu kelam yang terjadi di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan, akan ada nama-nama yang seharusnya berdosa, tapi ‘diampuni’ begitu saja melalui buku ini. Meski itu hanya praduga, tetapi Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan dalam sebuah sesi pertemuan dengan Komisi X DPR pada Senin 26 Mei 2025 lalu, menyatakan bahwa buku sejarah yang sedang ditulis ini adalah untuk menunjukkan sisi Indonesia-sentris. Namun, dengan beberapa bagian sejarah yang tidak dijelaskan secara gamblang, nampaknya menunjukkan bahwa sisi yang akan ditonjolkan dari buku ini bukan sisi Indonesia-sentris, melainkan kebohongan. Dengan tanggapan Fadli Zon dalam wawancara di kanal YouTube IDNTIMES bersama dengan Uni Lubis, Fadli Zon justru tidak akan memasukkan poin KKN dalam sejarah orde baru, dengan dalih bahwa KKN bukan hanya terjadi di era Soeharto, melainkan masih eksis hingga saat ini. Selain itu, masih dalam video yang sama, Fadli Zon juga tidak akan mengangkat segala isu kekerasan seksual yang dilakukan terhadap wanita keturunan Tionghoa selama kerusuhan 98. Bahkan Fadli Zon dengan tegas menolak akan ‘tuduhan’tersebut, hal ini justru kontra dengan kenyataan lapangan yang justru mengatakan sebaliknya. Inilah yang membuat kontroversi atas projek buku ini.

Buku Sejarah yang nantinya akan ditulis, bukan sepenuhnya bertujuan untuk memperbaharui penulisan sejarah Indonesia, melainkan ada niat dan maksud tertentu di dalamnya. Hal ini diikuti dengan pernyataan dari Pande K. Trimayuni seorang mantan aktivis 1998 pada Rabu, 18 Juni 2025 yang mengatakan bahwa semestinya penulisan sejarah diinisiasi oleh para akademisi dan sejarawan karena adanya penemuan baru maupun karena adanya pertimbangan lain dari sejarah itu sendiri. Menurut Pande, penulisan yang diinisiasi oleh negara maupun secara formal dibuat oleh pemerintah, menunjukkan adanya kepentingan tertentu. Dengan adanya beberapa peristiwa yang dihapuskan akan berdampak pada dijadikannya buku tersebut sebagai alat propaganda, dengan memasukkan buku tersebut sebagai buku sekolah, referensi film atau hiburan, atau aspek-aspek penting manusia. Hal ini juga diaminkan oleh Fadli Zon dalam wawancara yang sama bersama Uni Lubis, bahwasannya buku ini juga secara tidak langsung akan memonopoli pengetahuan sejarah. Dengan embel-embel buku resmi dari pemerintah, sehingga buku lain yang tidak secara resmi diterbitkan oleh pemerintah, tapi memiliki fakta yang lebih lengkap dari buku pemerintah, tidak akan dianggap sebagai fakta yang legal karena bukan dari pemerintah. Hal ini juga dikhawatirkan, pasalnya buku ini juga nantinya yang akan menjadi acuan buku pelajaran sekolah yang disebarluaskan dan diajarkanmelalui kurikulum pendidikan formal.

Tidak sekali slogan ‘Jas Merah’ yang digaungkan oleh Ir. Soekarno, masih relevan hingga saat ini. Namun, sejarah yang mana yang boleh kita lupakan? atau sejarah yang mana yang harus dikenang? Kalimat “Sejarah ditulis oleh pemenang” adalah jawabannya. Sejarah selalu dijadikan sebagai alat propaganda, salah satu contoh adalah Korea Utara. Mereka memanipulasi sejarah dengan menjadikan Korea Utara sebagai juara Piala Dunia 2010, padahal mereka lolos fase grup saja tidak. Inilah yang menandakan bahwa ketika tidak ada salah seorang pun yang sadar dan peduli dengan sejarah, maka disitulah sang penguasa akan bebas memutar balikan fakta. Tragedi 65/66 adalah bukti bahwa pemenang bebas bermain dengan fakta. Fadli Zon (masih di siaran video YouTube yang sama) mengatakan bahwa tragedi lubang buaya jelas-jelas dilakukan oleh PKI. Memang itu adalah fakta, kebenaran yang harus disebarluaskan kepada seluruh khalayak. Akan tetapi, tidak semua fakta harus diketahui oleh masyarakat. Pembantaian tahun 66, dimana seluruh antek PKI dan jajarannya dibabat dan dibantai tanpa ampun, dimasukkan ke dalam penjara tanpa proses peradilan yang layak, disiksa, dan diperlakukan secara tidak manusia. Itu adalah fakta, tapi bukan fakta yang harus disebarluaskan. Dimana negara akan menaruh wajahnya jika menyebarkan fakta bahwa negara tidak memanusiakan warga negaranya?

Reformasi 98 dan kebiadaban Orba kala itu juga menjadi salah satu sejarah yang harus diingat. Dalam peristiwa tersebut, jelas dinyatakan bahwa era Soeharto yang sudah kepalang lama, dan kinerja yang membuat rakyat melarat, harus segera diruntuhkan, bukti bahwa persatuan dan kesatuan rakyat mampu meruntuhkan rezim biadab. Namun, apakah hanya itu saja yang terjadi? Alasan kenapa banyak sekali penjarahan toko milik Tionghoa? Alasan kenapa banyak wanita keturunan Tionghoa yang dilecehkan? Dan kemana perginya aktivis yang hingga saat ini tidak pulang ke rumah? Masyarakat harus tahu, agar nantinya jika terjadi hal serupa, masyarakat bisa berwaspada, masyarakat bisa tahu bahwasannya ada peran negara di balik kerusuhan tersebut. Bahkan ada peran sosok pemimpin negara di balik peristiwa tersebut. Hingga menimbulkan sebuah tanya, apakah ‘dia’ layak untuk dijadikan pahlawan nasional, bahkan untuk perannya yang merugikan negara?

Penulisan ulang buku sejarah Indonesia adalah bentuk dari negara ataupun oligarki yang secara terang-terangan ingin meraup keuntungan. Entah masih dalam prosesi ‘bagi kue’ atau memang ada kepentingan besar yang sedang menunggu. Penulisan ulang buku sejarah Indonesia adalah bentuk pembungkaman intelektual negara terhadap warga negara, khususnya peserta didik. Sama halnya dengan apa yang saya katakan di muka, bahwasannya Fadli Zon memang tidak terang-terangan mengatakan buku ini akan memonopoli sumber buku sejarah di luar sana, khususnya buku sejarah yang akan disebarluaskan di sekolah. Namun, dengan legalitas dan embel-embel dari pemerintah, sudah seharusnya buku ini menjadi buku yang paling ‘benar’ diantara buku lainnya. Bahkan,buku yang di luar dari buku resmi akan dilarang untuk diperjualbelikan. Hal ini sangat serupa dengan apa yang dilakukan oleh Kolonial Belanda saat penerapan politik etis. Kontrol pusat yang kuat, membuat tidak adanya sumber informasi lain selain dari pemerintah pusat. Membuat peserta didik mau tidak mau harus menerima informasi terkait pelajaran sejarah hanya dari buku sejarah yang resmi dari pemerintah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi rasa kesadaran peserta didik dan nantinya akan mengubah pandangan mereka terhadap negara, juga sesuai dengan apa yang dituju oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan, yaitu menambahnya rasa kecintaan terhadap tanah air. Namun, bukankah cinta yang baik adalah cinta yang apa adanya? Atau justru mereka yang memegang kekuasaan tidak pernah memiliki rasa cinta yang apa adanya karena cinta mereka hanya untuk diri mereka sendiri.

Kesalahan informasi dan ‘pengeliminasian’ informasi sejarah dirasa cukup untuk mengatakan bahwa negara tidak menginginkan warga negara, khususnya peserta didik yang nantinya akan menjadi penerus bangsa untuk mengetahui dosa-dosa negara. Hal ini sama saja dengan konsep pengajaran ‘gaya bank’ yang dipopulerkan oleh Paulo Freire dalam bukunya ‘Pendidikan Kaum Tertindas’. Dalam konsep pendidikan ‘gaya bank’, pendidikan atau pengetahuan adalah sebuah hadiah yang diberikan oleh mereka yang merasa dirinya berilmu kepada mereka yang dirasa tidak berilmu (Freire, 1970). Atau dalam studi kasus ini, pendidikan atau pengetahuan adalah hadiah yang diberikan oleh kelompok penindas untuk diberikan kepada kaum tertindas yang tidak tahu apa-apa dan memang seharusnya tidak tahu apa-apa. Masih dalam buku yang sama, Freire menjelaskan bahwa ketidakpedulian terhadap orang lain inilah yang menjadi sifat dari ideologi penindasan, menolak pendidikan, dan pengetahuan sebagai proses dari pencarian. Hal inilah yang menunjukkan bahwasannya secara tidak langsung negara menutupi kebenaran melalui buku sejarah yang nantinya akan memonopoli pendidikan Indonesia. Peserta didik melalui buku ini akan secara langsung mencerna segala informasi yang diberikan melalui buku sejarah yang didistribusikan melalui sekolah formal. Mereka didoktrin bahwasannya hanya buku itulah yang benar, sementara buku sejarah lain yang disebarluaskan tanpa adanya embel-embel dari pemerintah adalah buku yang ilegal.

Hal ini serupa dengan bagaimana kebijakan kolonial Belanda saat memberikan pendidikan untuk masyarakat Indonesia dalam Politik Etis. Pendidikan Kolonial Belanda tidak bertujuan untuk mengubah atau menciptakan masyarakat yang berkualitas. Maka dari itu, gradualisme menjadi salah satu yang sengaja diperlambat untuk mencegah terjadinya perubahan di masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Kolonial Belanda tidak melihat pendidikan sebagai hak manusia, melainkan sebagai pabrik proletar yang nantinya setelah mereka(peserta didik) lulus dari bangku sekolah, mereka hanya akan dijadikan sebagai pekerja dengan gaji rendah. Sehingga membuat banyak masyarakat untuk berpikir dua kali untuk mengenyam pendidikan. Hal ini jelas serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia Kontemporer, dimana pemerintah tidak lagi melihat pendidikan sebagai hal yang fundamental, terlepas dari mayoritas pemegang kepentingan yang tidak pernah sekolah dan bahkan mengambil ijazah orang lain, tapi pemerintah selalu melihat warga negara sebagai objek yang dinilai merugikan. Kurikulum pendidikan, diciptakan bukan untuk menjadikan peserta didik pintar karena semakin pintar warga negara akan semakin melawan atau akan semakin merugikan negara dengan upah yang harus dibayar besar ketika mereka bekerja. Isu terkait penulisan buku sejarah resmi dari pemerintah adalah bentuk bagaimana pemerintah menjadi kolonial, bukan hanya di aspek ekonomi, politik, militer, tapi budaya dan pendidikan juga dikuasai. Terlebih dengan sifat ‘unity’ atau semua kebijakan hanya bermuara pada pemerintah pusat, menandakan bahwa baik peserta didik untuk mempelajari sejarah Indonesia, harus sesuai dengan sumber pusatnya. Memang secara kurikulum keseluruhan, pemerintah belum (saya bilang belum karena akan) menerapkan gaya pendidikan yang mengikat, akan tetapi dari segi aspek mata pelajaran sejarah yang terbilang fundamental, negara harus memaksa kita untuk tutup mata dan bahkan memaksa kita untuk bodoh. Demi nama seseorang yang dibersihkan, demi dosa pembunuhan seorang pemimpin dihilangkan.

Penulisan buku sejarah resmi dari pemerintah adalah fakta bahwasannya negara menutupi kesalahan di masa lalu untuk membuat warga negara khususnya peserta didik merasa ‘aman’. Untuk membuat warga negara khususnya peserta didik tetap bisa melanjutkan hidupnya di negara ini. Setelah pengetahuan yang minim akan negara, disitulah negara bisa melakukan dominasi dengan menindas mereka-mereka yang mayoritas. Pada dasarnya tujuan penjajah melakukan dominasi budaya dapat menyebabkan penindasan budaya, berupa diskriminasi terhadap bahasa dan agama lokal, serta pemaksaan budaya kolonial yang memperkuat perasaan rendah diri di kalangan masyarakat pribumi. Kemudian dilanjutkan kembali dalam tujuan penjajah melakukan dominasi adalah untuk kontrol sosial atas masyarakat tertindas atau masyarakat yang dijajah. Dengan kebijakan-kebijakan yang memaksa warga negara untuk patuh, ditambah dengan hukuman yang ‘wajar’ bagi pelanggar, dapat membuat warga negara mau tidak mau menuruti kebijakan tersebut.

Posting Komentar

0 Komentar