[DILEMA] - Fenomena Over Price Donat Pinkan Mambo: Simbol Komodifikasi Popularitas di Era Digital
Judul: Fenomena Over Price Donat Pinkan Mambo: Simbol Komodifikasi Popularitas di Era Digital
Penulis : Nabila dan Fitri
Fenomena yang menyebar dengan cepat dan ketenaran yang tiba-tiba kini menjadi ciri penting di zaman digital. Di sini, media sosial menyediakan platform yang dinamis bagi siapa saja yang ingin menarik perhatian publik dalam waktu singkat. Salah satu contoh yang menonjol adalah Pinkan Mambo, seorang penyanyi yang beralih menjadi penjual donat dengan harga yang sangat tinggi, antara Rp200 ribu hingga Rp10 juta per kotak. Penjualannya yang ditayangkan secara langsung di TikTok, dilengkapi dengan gaya unik dan cerita emosional seperti "donat air mata," menimbulkan rasa ingin tahu serta beragam reaksi dari pengguna internet. Ketenarannya meningkat bukan hanya karena mutu produk, tetapi juga karena daya tarik pribadinya, kontroversi harga, dan interaksi aktif di media sosial yang membantu menyebarkan konten dengan cepat. Dalam dunia digital saat ini, menjadi viral tidak lagi tergantung pada pencapaian tradisional, melainkan pada kemampuan untuk menciptakan momen momen yang menggugah emosi dan memicu pembicaraan publik.
Dalam zaman digital, proses di mana ketenaran seseorang—melalui pencapaian, masalah, atau keunikan pribadi—diubah menjadi nilai ekonomi yang dapat dihasilkan melalui beragam saluran dikenal sebagai komodifikasi popularitas. Dalam tulisan ini, peristiwa yang dialami Pinkan Mambo menjadi contoh nyata tentang bagaimana publik figure menggunakan perhatian media sosial untuk menjual barang dengan harga yang luar biasa tinggi, bukan hanya karena mutu produk, tetapi juga berkat daya tarik pribadi dan cerita yang diciptakan. Popularitas kini menjadi barang yang diperdagangkan melalui siaran langsung, keterlibatan emosional, dan citra diri yang dirancang dengan cermat. Contoh ini juga dapat dilihat pada selebgram yang memonetisasi gaya hidup mereka, artis TikTok yang mendapatkan uang dari tayangan dan hadiah digital, serta praktik endorse di mana merek membayar tokoh terkenal untuk mengiklankan barang. Teori komodifikasi yang diajukan oleh Vincent Mosco menunjukkan bahwa dalam dunia media, konten dan identitas pribadi dapat dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan, dan media sosial sebenarnya telah menyediakan peluang bagi siapa saja untuk menjadi "produk" yang dapat dipasarkan.
Kasus donat yang dijual oleh Pinkan Mambo menarik perhatian publik karena harga yang dinilai terlalu mahal, yakni Rp200. 000 untuk satu lusin. Bahkan, ada yang menawarkan pengiriman instan hingga Rp10 juta. Beberapa food vlogger juga menilai kemasan awalnya tidak sesuai standar dan tidak aman untuk makanan. Reaksi publik bervariasi: ada yang kuat mengkritik harga dan kemasan yang dianggap tidak sepadan, sementara yang lain memberikan dukungan sebagai bentuk penghargaan atas keberanian Pinkan untuk tampil beda. Selain itu, tidak sedikit yang merespons dengan nada sindiran, mengaitkan donatnya dengan “odading” atau menyebutnya sebagai “donat air mata.” Strategi merek yang diterapkan sepertinya menggabungkan elemen eksklusivitas dan pemanfaatan popularitas, di mana narasi pribadi, gaya unik, dan interaksi emosional di media sosial berfungsi sebagai alat utama untuk menarik perhatian. Dalam hal ini, donat tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga menjadi simbol bagaimana seorang figur publik dapat mengubah citra diri menjadi barang yang laku dijual di dunia digital.
Media sosial memiliki peran yang signifikan dalam menciptakan dan menghancurkan popularitas melalui algoritma dan mekanisme viral yang memungkinkan konten dengan cepat mendapatkan perhatian, namun juga hilang saat publik beralih ke tren baru. Ketidakstabilan popularitas ini semakin diperkuat oleh fenomena echo chamber, di mana pengguna terus-terusan terpapar pada informasi yang serupa dalam komunitas mereka, serta dorongan dari rasa takut ketinggalan (FOMO) yang mendorong individu untuk ikut menyebarkan tren agar tetap relevan. Akibatnya kecepatan viralitas sangat tinggi, sesuatu yang trending hari ini mungkin saja terlupakan keesokan harinya. Berbeda dengan cara popularitas selebriti pada zaman media tradisional yang dibangun melalui proses yang panjang, fenomena viral di era digital seringkali tiba-tiba muncul dari satu kejadian dan segera dimanfaatkan seperti melalui dukungan, promosi produk atau eksploitasi kegiatan lagu atau meme. Hal ini menunjukkan bahwa popularitas di media sosial bersifat langsung, tidak stabil dan juga mempunyai nilai ekonomi, karena selalu ada kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan sebelum diganti oleh tren viral yang baru.
Fenomena viral di platform media sosial tidak hanya terbatas pada bidang hiburan, tetapi juga
mencerminkan keadaan sosial serta budaya masyarakat saat ini. Ketertarikan instan yang sering muncul
menunjukkan adanya krisis nilai di kalangan konsumen, di mana perhatian publik lebih gampang
dialihkan pada hal-hal yang mencolok dan cepat hilang dibandingkan dengan sesuatu yang lebih
bermakna. Masyarakat berfungsi tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga sebagai pembentuk makna.
Setiap orang memiliki kemampuan untuk menciptakan, menyebarkan dan bahkan menafsirkan kembali
tren sesuai pandangan mereka, sehingga batasan antara pencipta dan penikmat menjadi samar. Situasi
ini berdampak signifikan pada budaya populer yang semakin fleksibel, etika bisnis yang rentan untuk
mengkomodifikasi fenomena tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral, serta identitas digital individu
yang semakin ditentukan oleh cara mereka menampilkan diri dalam ruang maya. Oleh karena itu,
viralitas bukan hanya sekadar tanda dari komunikasi digital, tetapi juga gambaran tentang bagaimana
masyarakat modern membangun, mengonsumsi dan memperjualbelikan makna dalam budaya masa
kini.

Posting Komentar
0 Komentar