[DILEMA] - Benda di Atas Pundak

 


Judul: Benda di Atas Pundak

Penulis: Nabila Egy Siagian


Aku lahir sebagai halaman kosong yang dipaksa menjadi buku pedoman. Tidak ada hurufsebelumku, tidak ada jejak tinta yang bisa kuikuti. Aku diturunkan ke dunia seperti kapalpertama yang dilempar ke laut tanpa peta, tanpa bintang penunjuk. Hanya gelombang danteriakan agar jangan karam.

Sejak awal aku tahu, ada benda tak terlihat di atas pundakku. Kadang terasa seperti batubesar, kadang seperti kain tipis yang basah. Beratnya berubah-ubah tapi tak pernah hilang.Orang-orang menyebutnya harapan. Aku menyebutnya beban yang tak pernah kuminta,namun ak bisa kutolak. Setiap langkahku adalah uji coba. Setiap salahku adalah peringatan.Aku tak hanya berjalan untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk mereka yang datang setelahku.Agar mereka punya contoh meski contoh itu lahir dari luka di kakiku sendiri.

Aku jarang bersuara. Pikiranku gaduh seperti pasar malam, penuh riuh teriakan danlampu-lampu yang berkelap-kelip, tetapi bibirku terkunci. Aku belajar menyembunyikankeributan itu, karena aku tahu “Dunia lebih suka pada ketenangan, pada senyum yang tampakkokoh daripada kejujuran tentang betapa rapuhnya aku di dalam.”

Kata orang, aku kuat. Padahal kekuatanku hanya sisa-sisa keberanian yang dipaksa hidup darirasa takut mengecewakan. Aku berjalan, meski kakiku sudah berdarah. Aku berlari, meskidadaku sesak. Aku tetap berdiri, meski hatiku ingin rebah. Semua karena benda di ataspundak ini menolak dilepaskan.

Namun, semakin jauh aku melangkah. Aku mulai mengerti. Beban ini bukan sekadar jerat. Iaadalah tanda bahwa aku dipercaya, meski sering terasa kejam. Ia adalah saksi bahwa akupernah dipaksa tumbuh sebelum sempat benar-benar menjadi kecil.

Aku adalah anak pertama. Yang pertama kali jatuh, pertama kali bangun, pertama kalitersesat dan pertama kali menemukan arah. Aku bukan kompas sempurna, hanya jarum yangterus bergetar mencari utara. Tapi dari getaranku, orang lain belajar bagaimana menghadapibadai. Benda di atas pundak ini tak akan pernah hilang. Tapi kini, aku sudah terbiasa.Beratnya menjadi bagian dari tubuhku, seperti bayangan yang selalu mengikuti langkahku.Dan mungkin, justru dari sanalah aku menemukan arti hidup. Berjalan, meski pundak remuk;tersenyum, meski hati retak; dan tetap ada, meski dunia tak pernah benar-benar memberipetunjuk.

Posting Komentar

0 Komentar