[DILEMA] - MARSINAH: RAUNG BURUH YANG DIBUNUH
Oh
Marsinah
Kau
termarjinalkan
Oh
Marsinah
Matimu
tak sia-sia
Penggalan lirik di atas
merupakan penggalan lirik lagu milik grup musik beraliran punk asal
Indonesia, Marjinal. Sebagian besar dari pembaca mungkin sudah tidak asing lagi
dengan nama di dalam lagu tersebut, Marsinah, seorang wanita nan gagah berani
yang menjadi penggagas aksi demo menuntut sejumlah hak guna memperbaiki nasib
buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah
pada awalnya merupakan seorang gadis biasa kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk,
Jawa Timur yang dibesarkan seorang diri oleh sang nenek, Puirah. Ibunya,
Samini, meninggal ketika Marsinah berusia dua tahun kemudian ayahnya menikah
lagi, lalu tinggal di desa lain.
Kisah bermula pada tahun
1993, tepatnya di tanggal 3-4 Mei di mana saat itu terjadi aksi pemogokan buruh
PT. Catur Putra Surya menuntut kenaikan upah buruh dari RP 1.700 menjadi Rp
2.250 per hari sesuai dengan amanah Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
50/1992. Selain menuntut kenaikan upah, beberapa tuntutan lain juga dilayangkan
oleh Arsinah, di antaranya ialah tunjangan cuti haid dan cuti hamil, asuransi
kesehatan yang ditangung oleh pihak perusahaan, pencairan THR setara satu bulan
kerja sesuai dengan himbauan pemerintah, penambahan jumlah uang makan,
penambahan jumlah uang transportasi, adanya penyamarataan upah karyawan baru
dengan upah buruh yang sudah satu tahun bekerja, larangan untuk melakukan
mutasi, intimidasi, dan PHK terhadap karyawan yang menuntut haknya, serta
tuntutan untuk membubarkan SPSI bentukan pemerintah Orde Baru yang dinilai sama
sekali tak berpihak pada buruh.
Marsinah tidak sendiri,
ia melakukan aksi demo dan mogok kerja bersama dengan tiga belas orang lainnya.
Forum negosisasi dilakukan antara buruh dengan pihak pabrik, namun nahas pihak
pabrik dengan tegas melakukan aksi PHK terhadap tiga belas buruh yang dianggap
sebagai dalang aksi mogok kerja meskipun putusan PHK tersebut tak pernah sesuai
dengan hasil kesepakatan bersama. Dari sini, Marsinah geram. Ia mengancam pihak
pabrik melalui suratnya yang berisikan aktivitas dan produksi ilegal yang
dilanggengkan oleh pabrik tempatnya bekerja.
Keesokan harinya,
sejumlah tiga belas buruh PT. Catur Putra Surya diundang ke Markas Kodim 0816
Sidoarjo. Di sana mereka menandatangani surat pemutusan hubungan kerja. Setelah
itu, Marsinah pulang. Ia sempat mengajak dua temannya, Asiyem dan Joko untuk
membeli makan terlebih dahulu. Sekitar pukul 21.20, mereka bertiga berpisah di
bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning. Lantas pergi dan hilang.
Empat hari setelah
hilangnya Marsinah, ia ditemukan sudah tak bernyawa dengan kondisi amat
mengenaskan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. Kasus kematian Marsinah pada
awalnya hanya berita kecil di surat kabar lokal, namun lambat laun kematiannya
menjadi sorotan masyarakat nasional hingga internasional. Hal ini menimbulkan
kemarahan bagi dunia luar, seperti Federasi Buruh Amerika Serikat yang
mengirimkan petisi kepada pemerintah AS guna mencabut Indonesia dari daftar
negara yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk komoditi tertentu dari
Indonesia ke AS. Akibat dari kecaman tersebut, pemerintah membentuk Tim Terpadu
guna mengungkap kebenaran di balik kasus pembunuhan terhadap Marsinah. 1
Oktober 1993, terjadi penangkapan terhadap sembilan orang yang dianggap
bertanggungjawab. Sayang, penangkapan tersebut pada kenyataannya tidak disertai
dengan surat perintah penangkapan dan penahanan. Proses peradilankesembilan
tersangka menunjukkan banyak sekali kejanggalan, di antaranya ialah penolakan terhadap
isi BAP oleh para tersangka. 3 Mei 1995, Mahkamah Agung mengumumkan bahwa
kesembilan terdakwa tidak terbukti melakukan perencanaan pembunuhan terhadap
Marsinah.
Dengan demikian, kejelasan
kasus kematian Marsinah belum juga mencapai titik terang. Pelaku yang
sebenarnya tak pernah terungkap. Kematiannya merupakan sebuah tragedi besar
yang meninggalkan luka teramat perih bagi buruh di seluruh Indonesia. Mesikpun
demikian, dari Marsinah pula akhirnya dibangun semacam “jembatan” antara buruh dan
pemerintah untuk berdialog. Kendati demikian, masih banyak sekali pekerjaan
yang harus dibereskan pemerintah guna menjamin hak-hak kesejahteraan sosial
para buruh, terutama buruh perempuan. Sudah saatnya pemerintah turun tangan
seiring dengan persoalan yang digaungkan oleh Marsinah 30 tahun silam semakin
relevan hingga saat ini dengan kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Posting Komentar
0 Komentar