[DILEMA] - MARSINAH: RAUNG BURUH YANG DIBUNUH

 


Marsinah: Raung Buruh yang Dibunuh
Oleh: Chieka Aisyah Kinanti (Pendidikan Sosiologi A - 2022)

Oh Marsinah

Kau termarjinalkan

Oh Marsinah

Matimu tak sia-sia

 

Penggalan lirik di atas merupakan penggalan lirik lagu milik grup musik beraliran punk asal Indonesia, Marjinal. Sebagian besar dari pembaca mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama di dalam lagu tersebut, Marsinah, seorang wanita nan gagah berani yang menjadi penggagas aksi demo menuntut sejumlah hak guna memperbaiki nasib buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah pada awalnya merupakan seorang gadis biasa kelahiran Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur yang dibesarkan seorang diri oleh sang nenek, Puirah. Ibunya, Samini, meninggal ketika Marsinah berusia dua tahun kemudian ayahnya menikah lagi, lalu tinggal di desa lain.

Kisah bermula pada tahun 1993, tepatnya di tanggal 3-4 Mei di mana saat itu terjadi aksi pemogokan buruh PT. Catur Putra Surya menuntut kenaikan upah buruh dari RP 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari sesuai dengan amanah Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 50/1992. Selain menuntut kenaikan upah, beberapa tuntutan lain juga dilayangkan oleh Arsinah, di antaranya ialah tunjangan cuti haid dan cuti hamil, asuransi kesehatan yang ditangung oleh pihak perusahaan, pencairan THR setara satu bulan kerja sesuai dengan himbauan pemerintah, penambahan jumlah uang makan, penambahan jumlah uang transportasi, adanya penyamarataan upah karyawan baru dengan upah buruh yang sudah satu tahun bekerja, larangan untuk melakukan mutasi, intimidasi, dan PHK terhadap karyawan yang menuntut haknya, serta tuntutan untuk membubarkan SPSI bentukan pemerintah Orde Baru yang dinilai sama sekali tak berpihak pada buruh.

Marsinah tidak sendiri, ia melakukan aksi demo dan mogok kerja bersama dengan tiga belas orang lainnya. Forum negosisasi dilakukan antara buruh dengan pihak pabrik, namun nahas pihak pabrik dengan tegas melakukan aksi PHK terhadap tiga belas buruh yang dianggap sebagai dalang aksi mogok kerja meskipun putusan PHK tersebut tak pernah sesuai dengan hasil kesepakatan bersama. Dari sini, Marsinah geram. Ia mengancam pihak pabrik melalui suratnya yang berisikan aktivitas dan produksi ilegal yang dilanggengkan oleh pabrik tempatnya bekerja.

Keesokan harinya, sejumlah tiga belas buruh PT. Catur Putra Surya diundang ke Markas Kodim 0816 Sidoarjo. Di sana mereka menandatangani surat pemutusan hubungan kerja. Setelah itu, Marsinah pulang. Ia sempat mengajak dua temannya, Asiyem dan Joko untuk membeli makan terlebih dahulu. Sekitar pukul 21.20, mereka bertiga berpisah di bawah pohon mangga dekat Tugu Kuning. Lantas pergi dan hilang.

Empat hari setelah hilangnya Marsinah, ia ditemukan sudah tak bernyawa dengan kondisi amat mengenaskan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. Kasus kematian Marsinah pada awalnya hanya berita kecil di surat kabar lokal, namun lambat laun kematiannya menjadi sorotan masyarakat nasional hingga internasional. Hal ini menimbulkan kemarahan bagi dunia luar, seperti Federasi Buruh Amerika Serikat yang mengirimkan petisi kepada pemerintah AS guna mencabut Indonesia dari daftar negara yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk komoditi tertentu dari Indonesia ke AS. Akibat dari kecaman tersebut, pemerintah membentuk Tim Terpadu guna mengungkap kebenaran di balik kasus pembunuhan terhadap Marsinah. 1 Oktober 1993, terjadi penangkapan terhadap sembilan orang yang dianggap bertanggungjawab. Sayang, penangkapan tersebut pada kenyataannya tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dan penahanan. Proses peradilankesembilan tersangka menunjukkan banyak sekali kejanggalan, di antaranya ialah penolakan terhadap isi BAP oleh para tersangka. 3 Mei 1995, Mahkamah Agung mengumumkan bahwa kesembilan terdakwa tidak terbukti melakukan perencanaan pembunuhan terhadap Marsinah.

Dengan demikian, kejelasan kasus kematian Marsinah belum juga mencapai titik terang. Pelaku yang sebenarnya tak pernah terungkap. Kematiannya merupakan sebuah tragedi besar yang meninggalkan luka teramat perih bagi buruh di seluruh Indonesia. Mesikpun demikian, dari Marsinah pula akhirnya dibangun semacam “jembatan” antara buruh dan pemerintah untuk berdialog. Kendati demikian, masih banyak sekali pekerjaan yang harus dibereskan pemerintah guna menjamin hak-hak kesejahteraan sosial para buruh, terutama buruh perempuan. Sudah saatnya pemerintah turun tangan seiring dengan persoalan yang digaungkan oleh Marsinah 30 tahun silam semakin relevan hingga saat ini dengan kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Posting Komentar

0 Komentar