[DILEMA] - TIDAK ADA YANG TAHU KALAU MEREKA JAHAT
Judul : Tidak Ada Yang Tahu Kalau Mereka Jahat
Oleh : Dimas Galih
Oleh : Dimas Galih
Tidak ada yang lebih menjengkelkan dari tindak-tanduk Bapak pagi ini. Alih-alih berangkat kerja,
dia justru berdiam di depan teras. Sesekali menghisap tembakau, produk dari tempat ia bekerja.
Sejak kemerdekaan RI, tidak ada satupun pabrik rokok yang bertahan di kota ku. Kalaupun ada,
itu pasti hibahan dari Belanda. Pabrik tempat Bapak bekerja inilah yang murni milik rakyat dan
masih bertengger di jajaran pabrik rokok hibahan Belanda, bahkan mampu untuk menyaingi.
Karena produk lokal, upah Bapak tidak sebesar upah milik Pakde Gatot. Tetangga sebelah yang
juga bekerja di pabrik rokok, bedanya pabrik tersebut hibahan dari Belanda. Secara keuangan
dan pengaturan, jelas lebih rapih ketimbang di tempat Bapak. Tidak jarang Bapak hanya pulang
membawa upahnya yang sedikit dan satu slop rokok dari pabriknya. Apapun itu, setidaknya
kebutuhanku dan ibu bisa terpenuhi, terkait hal lain yang tidak kami ketahui, kami hanya bisa
mendukung apa yang Bapak lakukan.
Sore hari menjelang adzan maghrib berkumandang, entah sudah berapa gelas kopi yang
Bapak minum, juga entah sudah berapa batang rokok yang sudah dihisapnya. Bapak masih
terduduk dengan kemeja yang sama seperti di pagi hari. Kemeja merah rapih, dengan minyak
rambut yang mulai luntur, sehelai dua helai rambutnya ikut turun menanggapi wajah gelisah
Bapak. Tidak jarang kumisnya yang beruban itu bergetar, diikuti dengan lututnya yang tidak
berhenti mengguncang ubin teras. Kaos kaki juga sudah terpasang, seolah sudah bersiap pergi
sedari tadi. Entah apa yang membuat seorang Bapak gusar, hingga enggan untuk beranjak dari
kursi teras. Padahal, Bapak tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia terkenal dengan julukkan
‘Si Mulut Dingin Dengan Tangan Bara’ atau Mullin Den Tabar atau warga desa akrab
menggosipinya dengan julukkan Pak Mullin.
Bukan tanpa sebab Bapak dijuluki seperti itu. Dia pernah mengusir kacung presiden saat
mereka tengah menggusur lahan warga. Bahkan, Bapak pernah hampir membunuh seorang
ulama yang ketahuan masturbasi di tempat wudhu mushola. Bapak sangat membenci orang
yang melakukan penyimpangan, lebih tepatnya sangat membenci hal-hal yang menyimpang
dari prinsipnya. Dia enggan untuk berbicara, memimpin, semua harus berasal dari keinginan
dan tangan bara Bapak.
“Ibu bikin pisang goreng, Pak,” aku menyerahkan sepiring pisang goreng dengan pakaian rapih
yang sudah siap menuju mushola. Bapak hanya mengangguk, lalu menyeruput kopi, mencicipi
makanan kesukaannya, lalu membakar rokok. Keheningan menyita niatku untuk sembahyang,
membuatku harus duduk di sebelah Bapak. Mengambil satu batang rokok miliknya, ku hisap
perlahan, nikmat. Rokok Tira memang selalu yang terbaik, wajar jika mampu menyaingi
ketenaran rokok hibahan Belanda.
“Kamu ini laki-laki,” ucap Bapak memecah keheningan.
“Sudah saatnya kamu diberi tanggung jawab,” Bapak mematikan rokok di asbak dan beranjak
dari kursi. Dia lalu menepuk pundakku, dengan tatapan tajam dan hangat, juga terasa tatapan
ketakutan di matanya. Anggukkannya perlahan dan masih ragu. Dia memakai sepatu pantofel
lusuh miliknya yang sudah hampir jebol. Kakinya yang berat perlahan melangkah keluar rumah.
Melewati pagar bambu dan tidak ada yang pernah mengetahui kemana perginya Bapak. Tidak
ada kabar, tidak ada berita, hanya berita kematian 7 jenderal yang tersiar di radio.
Bagaimanapun julukan Mullin Den Tabar, tidak akan membuat Bapak bergerak untuk
membunuh 7 jenderal.
Sesekali sejak kepergian Bapak, pihak kepolisian datang menghampiri rumah kami. Dengan
senapan yang lengkap, mereka menanyakan keberadaan Bapak. Aku dan Ibu tidak pernah bisa
menjelaskan siapa Bapak dan bagaimana perannya di Pabrik Rokok Tira. Sampai akhirnya
mereka datang kembali dan langsung menahan kami. Aku selalu berharap Bapak datang dan
menjelaskan semuanya pada kami. Karena kami tidak ada yang tahu kalau Bapak jahat
Posting Komentar
0 Komentar