[DILEMA] - MUNGKIN SUATU HARI

 


Judul        : Mungkin Suatu Hari

Penulis     : Aditya Sangga Buana Richter

Di sebuah kota bernama Bukit Tinggi, di antara suara merdunya melodi alam dan semilir angin yang membawa aroma tanah basah, hiduplah seorang gadis bernama Arunika. Namanya berasal dari warna fajar, sebuah nama yang diberikan oleh ayahnya yang selalu percaya bahwa Arunika adalah cahaya dalam hidup mereka.

Arunika adalah seorang gadis berusia dua puluh dua tahun yang sederhana, tapi di balik kesederhanaannya, ia menyimpan mimpi-mimpi besar. Ia bekerja sebagai penjaga perpustakaan di daerah setempat, sebuah pekerjaan yang tidak pernah ia pilih, tapi ia jalani dengan penuh dedikasi. Setiap hari, ia menatap buku-buku yang berjajar rapi di rak, membayangkan dirinya berada di dunia-dunia lain yang penuh petualangan dan harapan.

Namun, kehidupan Arunika tidak seindah buku-buku yang se ring ia baca. Ia hidup sendiri setelah kepergian ibunya lima tahun lalu. Sejak saat itu, ia belajar bertahan dalam kesepian, menggantungkan harapan pada langit senja dan suara angin malam.

Suatu pagi, saat Arunika sedang merapikan buku di rak tertinggi, seorang pria muda masuk ke dalam perpustakaan. Ia tinggi dengan senyum yang hangat, mengenakan jaket cokelat yang tampak lusuh tapi nyaman.

“Selamat pagi,” sapanya, suaranya rendah tapi ramah. “Kamu Arunika, kan?”

Arunika mengerutkan dahi, bingung. “Iya, saya Arunika. Tapi, maaf, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Pria itu tertawa kecil. “Belum. Namaku Bima. Aku baru saja pindah ke kota ini. Kata orang, kamu orang yang tepat untuk menunjukkan tempat-tempat menarik di sini.”

Arunika tertawa kecil, merasa sedikit canggung. “Orang-orang pasti bercanda. Kota ini kecil, tidak banyak yang menarik.”

“Mungkin,” jawab Bima sambil tersenyum tipis, “tapi aku yakin kota kecil ini punya keindahannya sendiri, seperti orang-orang yang tinggal di dalamnya, seperti kamu.”

Percakapan itu menjadi awal dari pertemanan mereka. Hari-hari berikutnya, Bima sering datang ke perpustakaan, bukan hanya untuk membaca, tapi juga untuk berbicara dengan Arunika. Ia bercerita tentang petualangan-petualangannya di kota-kota lain, tentang langit biru di atas pegunungan, dan tentang mimpi-mimpinya yang tidak pernah surut meskipun hidup sering kali memberinya badai.

Suatu sore yang cerah, Bima mengajak Arunika berjalan-jalan ke taman kota. Di sana, mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon besar sambil menikmati es krim. Tawa mereka pecah saat Bima bercerita tentang pengalamannya jatuh ke sungai saat mencoba mengambil foto matahari terbenam. Arunika, yang biasanya pendiam, tidak bisa menahan senyumannya.

Tidak lama setelah itu, Bima mengajak Arunika bermain layang-layang di padang rumput dekat sungai. Dengan tawa riang, mereka berlomba-lomba menerbangkan layangan setinggi mungkin. Arunika, yang awalnya canggung memegang tali layangan, akhirnya berhasil menerbangkannya tinggi hingga terlihat seperti bintang kecil di langit.

“Kau lihat itu?” kata Bima sambil menunjuk layangan Arunika yang terbang tinggi. “Itu seperti mimpimu, Arunika. Mungkin butuh waktu untuk terbang tinggi, tapi pasti bisa kalau kau percaya.”

Hari-hari itu adalah hari yang penuh cahaya. Bima menunjukkan kepada Arunika bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal-hal besar. Terkadang, kebahagiaan ada dalam momen kecil yang sederhana seperti duduk di tepi sungai, tertawa bersama, atau berbagi cerita di bawah langit yang penuh bintang.

Namun, seperti semua cerita yang indah, kebahagiaan itu tidak berlangsung selamanya. Suatu hari, Bima datang ke perpustakaan dengan wajah yang lebih muram dari biasanya.

“Aku harus pergi,” katanya tanpa banyak basa-basi.

Arunika terdiam. Perasaan kehilangan yang pernah ia rasakan lima tahun lalu seakan kembali menghantamnya. “Kenapa?” tanyanya pelan.

“Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di tempat lain. Tapi aku janji, suatu saat nanti, aku akan kembali.”

Arunika mencoba tersenyum meskipun hatinya berat. “Mungkin suatu saat nanti,” katanya lirih.

Bima pergi keesokan paginya. Arunika kembali sendiri, tapi kali ini, ia tidak merasa sendirian. Kehadiran Bima telah meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus oleh waktu. Ia mulai menulis, mengabadikan kenangan dan mimpi-mimpinya di atas kertas, berharap bahwa suatu hari nanti, ketika Bima kembali, ia bisa membagikan semuanya.

Hidup terus berjalan, dan Arunika belajar bahwa mungkin suatu saat nanti bukanlah sebuah janji, melainkan sebuah harapan. Harapan bahwa meskipun dunia berubah, perasaan yang tulus akan selalu menemukan jalannya kembali.

Dan di bawah langit fajar yang berwarna jingga, Arunika menatap ke depan, dengan hati yang penuh keyakinan bahwa cahaya akan selalu datang, meskipun hanya untuk memberi harapan baru.


Posting Komentar

0 Komentar