[DILEMA] - MENGUNGKAP SIMBOL KEKUASAAN DALAM PRAKTIK POLITIK DESA MELALUI FILM ‘AUTOBIOGRAPHY’



Judul        Mengungkap Simbol Kekuasaan dalam Praktik Politik Desa Melalui Film 'Autobiography'

Penulis     : Dimas Galih 

Sejak pertama kali ditayangkan di seluruh bioskop Indonesia, film ‘Autobiography’ terbilang bukan menjadi sorotan utama. Ditambah dengan judul yang ambigu, sehingga tidak jarang ada orang yang salah paham dan mengira ini adalah film autobiografi tentang seorang tokoh.

Padahal menurut penulis dan sutradara ‘Autobiography’, film ini adalah wujud dari ketakutan rakyat yang dituntut untuk taat dan patuh atas perintah yang diberikan rezim. Pak Purna sebagai purnawirawan TNI sekaligus Calon Kepala Desa adalah wujud dari kepemimpinan rezim. Sementara Rakib sebagai asisten rumah tangga Pak Purna adalah wujud dari rakyat. Setiap tindakan yang dilakukan oleh Rakib dan setiap perintah yang diucapkan Pak Purna adalah wujud kepedihan sistem kekuasaan saat ini. Mengapa penguasa bebas menyuruh rakyat dengan seenak jidat, demi kesenangan atau demi kepentingannya? Mengapa rakyat hanya diam dan patuh terhadap setiap perintah dari penguasa yang tidak sejalan dengannya? Dan mengapa tidak ada perlawanan dari tindasan yang diberikan penguasa terhadap rakyat?

Menurut Makbul Mubarak yang dikutip dari wawancara dalam acara InFrame di kanal YouTube Hahaha Tv, film ini secara pribadi memiliki pesan personalnya sendiri. Dia mengatakan bahwa sebagai warga atau rakyat biasa, kita selalu dihantui akan ‘teror’ dari penguasa. Namun, saat orang-orang mulai gusar dan memilih untuk melawan, selalu ada peredam yang memiliki wewenang untuk mencegah terjadinya konflik. Masih dalam video wawancara yang sama, Makbul Mubarak mencontohkan dengan peristiwa masa kecilnya yang sandal edisi terbatas miliknya harus hilang karena dicuri saat Makbul kecil tengah sembahyang di masjid. Perintah pertama dari ayahnya hanya satu, “Cari siapa yang mencuri sandal kamu dan laporkan ke Ayah. Nanti biar Ayah yang mengurus,” ucap Makbul dalam interview yang sama. Akan tetapi, ketika orang yang mencuri sandal Makbul kecil sudah diketahui, justru sang Ayah melarangnya. Tanpa ada alasan yang jelas, bahkan menjanjikan untuk membelikan yang baru. Inilah fungsi utama dari wewenang dan birokrasi. Mengetahui Ayah dari anak yang mencuri sandal Makbul adalah orang yang berpengaruh dan memiliki jabatan, Ayah Makbul tidak bisa berkutik. Sebagai orang yang memiliki wewenang atas Makbul, dia justru menenangkan dan menjanjikan. Kalau-kalau terjadi konflik, Ayah Makbul hanyalah seorang PNS dan pasti secara kekuasaan akan kalah dengan Ayah anak itu. Hanya mengalah dan patuh sebagai satu-satunya cara untuk meredam konflik.

‘Autobiography’ adalah wujud nyata dari kondisi politik di Indonesia, bagaimana teror kekuasaan itu bisa ada dan pihak otoritas yang semula sebagai peredam, justru menjadi ‘penghalang’ masyarakat untuk bersuara dan melawan. ‘Autobiography’ sendiri mengambil latar di desa dengan segala bentuk dinamika dan kepentingan sang pemegang kekuasaan, menjadi cara sendiri baik bagi penulis dan sutradara, ataupun bagi khalayak penonton. Dengan jargon #SeremTanpaSetan menjadi tolak ukur bahwa selama ini di Indonesia bentuk penindasan bukanlah bentuk fisik, tapi bentuk tersirat yang selalu menunjukkan kekuasaan seseorang dan dengan omongan kalau mereka berkuasa, sehingga orang yang lebih rendah mau tidak mau harus patuh. Hal ini sejalan dengan dialog yang selalu diucapkan oleh Pak Purna, meski tidak secara gamblang mengangkat jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya, tapi nada, gesture, bahkan mimik wajahnya selalu mewakilkan hal tersebut. Salah satu contohnya adalah adegan dimana Pak Purna disuguhkan kopi, Pak Purna hanya perlu menjawab dengan kalimat “Siapa bilang saya minum kopi?” dengan nada datar dan berat, Pak Purna berhasil membuat Rakib yang menyuguhkan kopi untuk Pak Purna, langsung patuh dan menyuguhkan teh untuknya. Sebagai orang yang memiliki wewenang untuk memimpin dan berkuasa, Pak Purna memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang, bahkan ‘menghilangkan’ orang. Inilah yang selalu Makbul Mubarak rasakan, selalu ada teror orang berkuasa bagi ‘Rakib’. Meski tidak ada konformitas yang dilakukan oleh orang berkuasa tersebut, tapi selalu ada keseganan yang tidak disadari, tanpa ada alasan, dan selalu dilakukan oleh kaum ‘Rakib’.

Secara simbolik saja, sudah terlihat pesan kekuasaan dan penindasan hanya dari poster resmi film ini. Seperti Pak Purna (Sebelah kanan) dan Rakib (Sebelah kiri) yang ditutupi oleh siluet bidak catur. Meski secara ukuran tidak sama (bidak catur terdapat 64 atau 8x8), tapi ini sudah cukup menggambarkan terdapat permainan kekuasaan dan pengaturan strategi di dalamnya. Hal ini juga sejalan dengan setiap obrolan malam kedua karakter ini, selalu dilakukan dengan bermain catur. Juga saat awal film yang diperlihatkan seberapa fanatiknya Rakib terhadap catur, sampai menonton permainan atlet catur profesional di laman YouTube. Pada umumnya, permainan catur selalu diidentifikasikan dengan sebuah struktur sosial, itulah mengapa ada peran raja yang harus dilindungi, peran prajurit yang harus menyerang dan pasang badan jika keamanan raja dalam ancaman. Padahal, kita prajurit pernah tahu mengapa terjadi pertempuran yang membuat raja mereka terancam, atau mengapa raja sebagai orang yang memegang otoritas harus merelakan terjadinya konflik fisik, yang tidak sejalan dengan anggapan Dahrendorf bahwa adanya otoritas atau orang yang berwenang adalah untuk meredam terjadinya konflik secara fisik. Dari simbol kecil ini, sudah terlihat bahwa kekuasaan dan penindasan adalah bumbu utama yang akan disampaikan Makbul selaku sutradara.

Penerapan teori konflik menurut Dahrendorf dalam film ini terlihat secara gamblang, diikuti juga dengan anggapan sutradara sekaligus penulis film ini yang tidak menyiapkan perlawanan bagi kaum Rakib. Kalaupun ada karakter yang berhasil melawan, pasti bukan terkait masalah yang secara politis, akan tetapi terkait dengan masalah yang lebih personal. Pasalnya, film yang berlatar di sebuah desa atau kabupaten, juga diikuti dengan tingkat pengetahuan masyarakatnya. Salah satu karakter bernama Agus yang diperankan oleh Yusuf Mahardika, melakukan perlawanan terhadap Pak Purna. Perlawanan tersebut bukanlah perlawanan secara konflik politis, melainkan konflik personal karena pada saat kampanye di balai desa, Ibu Agus diperlakukan tidak baik oleh Pak Purna. Ketersinggungan terhadap Pak Purna, membuat Agus yang hanya memiliki ibunya sebagai satu-satunya orang tua, harus membela. Meski akhirnya kalah dan perlawanannya tidak sepadan dengan akibat yang diterima, tapi apa yang dilakukan oleh Agus adalah bentuk perlawanan tidak teratur dan bentuk bahwa minimnya pengetahuan di desa tersebut, sehingga tidak adanya kesadaran setiap individu untuk melakukan perlawanan.

Dikutip dari Doyle Paul Johnson yang diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang (1986:186) bahwasannya Ralf Dahrendorf membagi kepentingan kelas objektif yang ditentukan secara struktural, yaitu kepentingan Manifest dan Latent. Manifest adalah kepentingan kelas yang disadari individu untuk mencapai tujuannya. Mengambil contoh penerapan dari film ‘Autobiography’, fungsi manifest ini terlihat kala Agus (Yusuf Mahardika) melakukan perlawanan terhadap Pak Purna. Tujuannya hanya satu, membalaskan perlakuan tidak mengenakan yang telah dilakukan oleh Pak Purna kepada ibunya. Sebelumnya memang Pak Purna melakukan pelecehan verbal kepada Ibu Agus pada saat kampanye di salah satu Balai Desa. Pak Purna mengatakan kalau setelah Ayah Agus meninggal, Ibu Agus dengan mudah menikah lagi, dan Pak Purna mengatakan bahwa pasti Ibunya Agus adalah orang yang cantik. Meski secara kontekstual Pak Purna hanya bercanda, tapi secara personal bagi Agus yang kenal dekat dengan Ibunya, ini tidak sepatutnya untuk dijadikan bahan bercanda. Tindakan Agus yang melakukan vandalisme dengan merobek dan merobohkan baliho pencalonan Pak Purna adalah tindakan yang dirasa Agus benar. Agus secara sadar ingin melakukan hal tersebut untuk memenuhi tujuannya. 

Sementara kepentingan Latent adalah kepentingan yang tidak disadari oleh individu, tapi sangat berkaitan erat dengan kepentingan kelas. Hal ini kerap kali kita jumpai di film ‘Autobiography’, tepatnya saat adegan pemasangan baliho. Dimana saat beberapa warga berkumpul dan membicarakan seorang sersan yang menjadi anak buah Pak Purna saat pemasangan baliho. Mereka secara terpaksa patuh dan taat dengan segala perintah yang diberikan oleh sersan, meskipun mereka sadar kalau seragam yang dikenakan oleh orang tersebut belum tentu mencerminkan jabatan yang sesungguhnya. Teringat sebuah dialog “Walaupun itu bukan sersan sungguhan, apa kita tetap berani?”, sebuah kalimat yang menyatakan bahwa mau bagaimanapun, mereka sebagai bagian dari kelas harus taat dan melupakan segala kesadaran mereka sebagai individu, demi kelangsungan dan kepentingan kelas. Inilah yang menjadi keutamaan kepentingan Latent itu sendiri, sama halnya dengan apa yang diutarakan Pak Purna kepada Rakib. Ketika mengetahui Agus tengah mencari masalah, jalan satu-satunya adalah meminta Rakib untuk menghabisinya. Rakib tahu dan sadar itu adalah tindakan yang salah, akan tetapi dia harus melakukannya. Dia mengesampingkan kesadarannya, karena percaya dan yakin terhadap wewenang yang diberikan Pak Purna kepadanya. Meski begitu, hal tersebut merubah pandangan Rakib kepada Pak Purna, yang semula mengagumi, kini menjadi takut karena kapanpun Rakib akan menjadi Agus.

Jika membahas lebih detail terkait praktik politik dalam lingkup desa, bisa dikatakan mayoritas dari praktik politik desa, selalu dihiasi oleh praktik money politic. Pasalnya, pengetahuan dan pemahaman masyarakat desa akan hukum dan legalitas praktik money politic masih kurang, maka para penguasa dengan senantiasa menyogok, menyuap, masyarakat dengan segelontor uang. Selain itu, adanya kepentingan penguasa membuat lebih sering dinormalisasikan praktik kotor politik ini. Dari penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et. al. dalam Jurnal Sospol Vol.4 (tahun 2016:121-122) bahwasanya politik desa yang terjadi saat ini adalah politik yang lebih melibatkan keterlibatan oligarki, ketimbang keterlibatan rakyat. Maka dari itu, kesan demokratis dalam penerapan politk desa, belum sepenuhnya berjalan. Hal serupa juga terjadi dengan apa yang dituangkan oleh Rahmi et al, dalam Jurnal Perspektif : Jurnal Kajian Sosiologi dan Pendidikan (2022 : 422-423), dalam kasus yang diteliti oleh Rahmi dkk. bahwasannya ini juga terjadi di Desa Ladang Panjang. Kebanyakan praktik politik di desa tersebut lebih dominan memainkan uang sebagai ladang kampanye dan pencarian uang. Bukan tanpa sebab, hal ini lagi-lagi disebabkan oleh adanya kepentingan yang ingin dilanggengkan oleh para penguasa. Sehingga praktik kotor bahkan terbilang melecehkan sistem demokrasi yang telah diterapkan. Inilah yang sebenarnya terjadi dengan politik Indonesia, juga digambarkan dengan jelas dalam film ini. Apa yang dilakukan oleh Pak Purna terhadap Agus adalah bentuk dari upaya

Pak Purna untuk terus melanggengkan kekuasaanya. Dia tidak ingin kesempatannya untuk memimpin dirusak hanya karena masalah sepele. Terlebih lagi, keluarga Agus adalah orang yang menolak visi dari pembangunan yang dicanangkan oleh Pak Purna. Dengan ‘membasmi’ Agus, setidaknya bisa mengurangi satu hama yang mengganggu jalannya pemerintahan Pak Purna. Jika mengaitkan dengan teori Konflik menurut Dahrendorf, perlu diketahui ada hubungan yang sangat erat antara pengaturan konflik dengan kondisi politik. Pasalnya, hal itu dapat mempengaruhi kesadaran kelas dan adanya kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Dalam penelitian yang dilakukan di Kecamatan Rejosari, Bantul oleh Heru Cahyono (2005), menyatakan justru konflik dalam politik desa, terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari dua belah pihak penguasa. Namun, justru pihak penguasa inilah yang bisa mempengaruhi rakyat bawah atau dalam kasus ini kami menyebut sebagai kaum Rakib. Mereka yang memiliki otoritas, justru mengkambinghitamkan rakyat, sehingga mengakibatkan konflik yang terjadi antar individu. Jarang terjadi konflik dalam politik desa yang melibatkan kaum penguasanya.

Mengutip dari Margaret M. Paloma dalam Sosiologi Kontemporer (1984 : 138-139) bahwa penyebaran kelompok yang ekstrim serta pertentangan jarang terjadi dalam kenyataan. Dalam hal ini, konflik justru terjadi dalam lingkungan yang dominan karena hanya akan saling tumpang tindih. Dengan adanya gejala yang demikian , maka terkandung suatu makna bahwa kekuasaan suatu institusi tidak perlu mengambil bagian dalam kekuasaan institusi yang lain. Apabila kelompok kepentingan saling bertemu dalam beberapa organisasi dan dalam banyak pertentangan maka semua energi akan disatukan dan hal tersebut akan menimbulkan suatu konflik yang keras. Kembali mengaitkan dengan apa yang terjadi di film ‘Autobiography’, konflik belum terjadi dalam intensitas yang berlebihan. Hanya saja, pergerakkan konflik sudah mulai meningkat, baik Agus yang sudah ‘menghilang’ ataupun Rakib yang mulai hilang kepercayaan terhadap Pak Purna.

Simbol kagum terlihat dari sosok Rakib terhadap Pak Purna, sampai dia harus menghilangkan kepercayaannya terhadap Pak Purna adalah tanda bahwa otoritas penguasa sudah hilang. Akan tetapi, bisa saja otoritas tersebut masih tetap ada. Pasalnya, Pak Purna sebagai orang yang memegang kekuasaan, bisa saja mengatur segala hal agar tidak terjadi konflik dengan membuat setiap orang harus patuh terhadapnya. Momen ketika Rakib memutuskan untuk pergi untuk mengikuti jejak kakaknya menjadi TKI di Singapura saja adalah bentuk perlawanan tanpa konflik. Akan tetapi, hal tersebut dipatahkan saja oleh Pak Purna dengan cara menyuruh siapapun yang dia kenal untuk menjegal perjalanan Rakib. Dengan dalih melakukan razia di terminal bus untuk mencari agen TKI palsu. Alhasil, agen palsu tersebut ditemukan dan Rakib juga ditemukan.

Seperti dijelaskan di mula, Rakib dan Pak Purna adalah wujud dari pemerintahan atau setidaknya adalah wujud dari hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Kondisi dimana Pak Purna memberikan contoh yang menginspirasi hidup Rakib, sehingga segala perilakunya selalu dilandaskan dari apa yang dilakukan oleh Pak Purna. Menyogok orang, bahkan mengintimidasi lawan, semua dilakukan dari berkaca pada Pak Purna. Kekuasaan dan legalitas yang dimiliki juga ditunjukkan oleh Pak Purna kepada khalayak (dalam kasus ini Rakib) adalah bentuk dari bagaimana dia mencoba untuk menghindari konflik yang terjadi. Dengan menunjukkan sisi karisma, yang membuat Rakib merasa terinspirasi, atau menunjukkan sisi mengancam agar Rakib lebih diam dan patuh dengan apa yang dipinta oleh Pak Purna. Dalam kutipan Doyle Paul Johnson (1986:189), Dahrendorf mengatakan kalau konsep kekerasan menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Bagi Pak Purna, tindakan mengancam dan menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya adalah bentuk kalau dia ingin kepentingannya, yaitu menjaga agar Rakib tetap patuh dan berada dalam kekuasaan nya. Itulah yang menjadi sebab mengapa Dahrendorf menjadikan orang yang berkuasa atau orang yang memiliki otoritas sebagai sarana peredam konflik kekerasan secara fisik.

Meski tidak diharuskan untuk melakukan perlawanan, Rakib mencoba untuk terlepas dari jeratan Pak Purna. Terlihat dari dia yang sudah mulai takut dan enggan untuk berbincang dengan Pak Purna, lebih parahnya lagi adalah keputusan Rakib yang kabur tanpa sepengetahuan Pak Purna. Sebagai kaum yang tidak memiliki banyak power, Rakib hanya bisa melarikan diri dan tidak tahu apa akibat kedepannya. Menurut teori konflik Ralf Dahrendorf, ia mengemukakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu tegas diterima dan diatur. Sesuai dijelaskan sebelumnya, bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengaturan konflik dengan kondisi politik karena hal itu dapat mempengaruhi kesadaran kelas dan adanya kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Dalam hal ini, pihak yang berkuasa menolak adanya pertentangan sehingga melarang adanya kelompok kepentingan yang bermaksud melawan pihak yang berkuasa untuk memperoleh kekuasaan. Suatu upaya dari pihak yang berkuasa untuk menghilangkan sama sekali konflik tidaklah mungkin karena pada dasarnya perbedaan antara mereka yang berkuasa merupakan sesuatu hal yang senantiasa ada dalam struktur hubungan otoritas.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Pak Purna terhadap Agus ataupun Rakib yang dianggap sebagai kaki-tangannya. Perlakuan Pak Purna bisa dibilang sebagai caranya untuk mempengaruhi kesadaran palsu rakyatnya agar tetap berada sejalan. Juga sempat dijelaskan di awal terkait adegan dimana Pak Purna memberikan kesan positif terhadap Rakib, sehingga tidak ada rasa ingin melawan yang ingin dimiliki oleh Rakib. Hal tersebut adalah contoh penghindaran konflik yang dilakukan oleh Pak Purna terhadap Rakib. Ataupun yang dilakukan oleh Rakib terhadap Agus saat ingin mempengaruhi Agus untuk berkunjung ke rumah Pak Purna atau kerap disebut Pak Jenderal. Dia mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahkan mempengaruhi kalau “Kata maaf itu baik, seperti memberikan hadiah kepada seseorang,”. Dengan pesan tersebut tentu bisa memberikan kesan pada Agus kalau apa yang terjadi pada dirinya nanti di rumah Pak Purna tidak akan berbahaya. Sebagai orang yang memiliki wewenang, Rakib memberikan kesadaran palsu kepada Agus, hanya untuk menghindari konflik yang berujung kekerasan, sehingga disitulah timbul kepentingan Manifest. Kepentingan yang mengutamakan kepentingan kelompok, sehingga menghilangkan kesadaran individu. Hal ini juga sempat disarankan oleh Ayah tiri Agus pada saat prosesi pemakaman Agus. Manakala dia mencurigai pihak developer PLTA yang melakukan pengeroyokan terhadap Agus, sehingga dia menyarankan untuk diadakan tausiyah bagi orang-orang developer untuk mencegah konflik yang lebih besar nantinya. Hal ini juga selaras dengan apa yang dipikirkan oleh Marx, bahwasannya pihak penguasa (dalam kasus Marx disebut sebagai kaum borjuis) kerap menggunakan agama untuk menghilangkan konflik yang terjadi. Namun, dalam kasus Marx, sebuah konflik berujung kekerasan sudah terjadi, ketika kaum proletar melakukan unjuk rasa menuntut haknya.

Memang secara fungsional, keharmonisan antar individu dalam sebuah struktur harus tetap terjaga. Akan tetapi, dengan menghilangkan pendapat individu dan mengancam secara tidak langsung hanya akan membuat konflik itu mereda, bukan hilang. Salah satu buktinya adalah pergerakkan secara tiba-tiba yang dilakukan oleh Rakib dengan membunuh Pak Purna dengan senapannya. Apa yang dilakukan oleh Pak Purna untuk mengatasi kecemasan yang dirasakan oleh Rakib pasca kematian Agus dengan cara mengancam secara tidak langsung, tidaklah membuat keinginan Rakib untuk bebas hilang begitu saja. Keinginan Rakib untuk melawan hanya mereda, tapi setelahnya hanya akan menimbulkan sebuah gerakkan yang lebih ekstrim. Memang ancaman atau intimidasi yang dilakukan oleh Pak Purna tidak terlihat secara explicit, melainkan terlihat dari simbol-simbol yang tidak semuanya disadarkan oleh banyak orang. Dari nada yang didominasi dengan kata perintah, seperti “Tenang, Nak,” meski kalimat tersebut adalah kalimat biasa, hanya saja tersirat makna bahwa Rakib tidak boleh berbicara pada orang lain terkait masalah yang sedang dihadapi oleh mereka berdua. Kalaupun Rakib berbicara, maka akan timbul masalah dan Rakib akan tenang selamanya (baca : mati).

Mengutip dari Mind, Self, and Society karya George Herbert Mead (1934:42), bahwasannya proses komunikasi seseorang dengan menggunakan bahasa isyarat bisa dipraktekkan melalui proses komunikasi pada hewan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi melalui isyarat (hal-hal non lisan ataupun tulisan?komunikasi tanpa kata) adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling pokok dari sebuah komunikasi. Pada akhirnya, pemahaman akan berkembang sesuai dengan pemahaman individu. Karena pada dasarnya, mengutip dari Doyle Paul Johnson yang diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang, bahwa komunikasi meliputi penggunaan simbol, begitu pula dengan proses berpikir subjektif. Menurut Mead, hubungan antara komunikasi dengan kesadaran subjektif sedemikain dekatnya, sehingga proses berpikir subjektif dapat dilihat sebagai sisi yang tidak kelihatan (covert) dari komunikasi. Hal ini meliputi tindakan berbicara dengan diri sendiri yang terpisah dari keterlibatan orang dalam hubungan sosialnya atau perilakunya yang nyata (overt). Jika dikaitkan dengan film ini, terlihat jika cara berbicara Rakib akan berubah ketika dia menggunakan seragam ABRI yang diberikan oleh Pak Purna. Secara simbol seragam ABRI atau tentara ini adalah tanda bahwa Rakib memiliki kekuasaan dan disegani oleh orang yang secara strata di bawahnya. Sempat dijelaskan di awal, yaitu percakapan antar warga desa yang takut dengan sosok sersan yang mereka sendiri tidak tahu apakah dia adalah sersan sungguhan atau tidak. Maka dari itu, dengan kepentingan Manifest yang timbul, mereka patuh saja dengan perintah sersan gadungan tersebut. Itulah yang membuat Rakib terlihat lebih berani dan gagah ketika mengenakan seragam ABRI (covert) yang kemudian akan berpengaruh pada tindakan selanjutnya, yaitu mulai untuk mengintimidasi demi mempertahankan kekuasaanya dan mencegah terjadinya konflik dalam struktural yang dia pegang atau kuasai. 

Secara tujuan, memang apa yang diinginkan oleh Dahrendorf adalah untuk mencegah terjadinya konflik, khususnya konflik yang berakibatkan kekerasan. Maka dari itu, mengutip dari Ian Craib (1986:92), Dahrendorf mengatakan bahwa teori konsensus (fungsionalisme) dan teori konflik menggunakan konsep yang sama, hanya saja menggunakan cara yang berbeda, yang menganggap bahwa setiap unsur sosial mempunyai fungsi dan disfungsi, konsensus dan paksaan yang berdampingan. Dengan perspektif tersebut, Dahrendorf berharap bisa menjalankan fungsi dalam struktur sosial dengan memberikan wewenang di setiap kelas. Dahrendorf sadar akan adanya potensi konflik yang terjadi, entah karena adanya kecemburuan atau adanya ketimpangan yang terjadi antar kelas. Dengan memberikan wewenang di setiap kelas akan membuat konflik yang terjadi semakin berkurang. Hanya saja, pada penerapannya terasa seperti ‘labil’ dan tidak konsisten. Seperti halnya dengan yang terjadi di film ini, terlihat jelas dan selalu penulis ulangi, bahwasannya Pak Purna selalu memastikan kekuasaannya bertahan (konsensus) dengan melakukan konftomitas dengan mengintimidasi atau bahkan menindas rakyat di bawahnya (konflik). Namun, yang tidak Pak Purna sadari adalah apakah rakyat yang lemah akan selalu pasrah dengan penindasan ini? Dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh Agus, meski yang menjadi topik utama adalah ketersinggungannya dan pesan personal, tapi pergerakanya jelas mengancam kekuasaan milik Pak Purna. Lalu apa yang dilakukan oleh Rakib yang kabur dan bahkan membunuh Pak Purna adalah bentuk bagaimana kekuasaan, penindasan, peredaman konflik yang dilakukan oleh Pak Purna tidak berjalan atau sudah terlewat batas. Sehingga, tidak ada kata lain selain melawan, walau harus mengorbankan nyawa.

Mengesampingkan unsur kekuasaan yang erat dalam film ini, kita juga perlu membahas simbol apa saja yang terlewat dan bahkan simbol tersebut sangat penting untuk jalannya cerita ini. Film ini bukan hanya menggambarkan kekuasaan dari segi cerita, alur, ataupun keelokan pemain dalam berperan. Akan tetapi, film ini juga menyajikan hal-hal yang tidak pernah diduga dan diketahui maknanya, jika tidak memahami pasti simbol-simbol yang berkaitan. Simbol itu adalah hal yang mungkin tidak semua orang tahu dan pahami, itulah sebab mengapa Mead menggunakan teori evolusi Darwin sebagai landasan berpikirnya. Di beberapa adegan, corak warna tertentu sengaja ditonjolkan untuk mewakili perasaan tertentu. Seperti pada saat Rakib yang berinisiatif untuk mencari siapa pelaku vandalisme yang merusak baliho milik Pak Purna (Agus). Corak layar berwarna hijau kegelapan, menandakan bahwa Rakib ingin mencari perhatian atau harta. Meski begitu, harta tidak selamanya berupa uang atau apapun itu, tetapi yang berhasil diraih oleh Rakib adalah kepercayaan yang mendalam dari Pak Purna. Meski begitu, ternyata tidak semua yang diinginkan oleh Rakib atau harta yang dimaksud rakib berbuah manis. Nyatanya dia harus mengorbankan orang lain, meski bukan ulahnya, tapi dia terlibat. Maka dari, itu tone warna disetiap adegan kembali abu-abu atau merah yang menunjukkan kebingungan dan kemarahan. Hal ini juga selaras dengan baju ABRI atau seragam tentara yang diberikan Pak Purna kepada Rakib yang didominasikan oleh warna hijau tua. Bisa jadi, warna hijau juga disimbolkan bahwa sudah terjadinya pengalihan kekuasaan yang diberikan oleh Purna untuk Rakib. Tidak kaget, setelah adegan tersebut, semua tindak-tanduk Rakib menyerupai Pak Purna.

Selain itu yang juga sudah penulis bahas di awal pembahasan, yaitu simbol bidak catur yang terlihat di poster film, juga menjadi permainan pemersatu antara Pak Purna dan Rakib. Bahkan simbol bidak bukan hanya terlihat di situ saja, juga terdapat di salah satu wallpaper ruang tamu Pak Purna. Akan tetapi set ruang tamu dengan wallpaper bidak catur tersebut hanyalah muncul di adegan-adegan yang sekiranya akan membutuhkan strategi ataupun telah menggunakan strategi. Seperti halnya dengan adegan saat Rakib yang menggotong Agus selepas dihajar oleh Pak Purna. Meski tidak dilihatkan dengan jelas, tetapi setelah adegan tersebut Rakib memerlukan strategi untuk membawa Agus ke rumah sakit terdekat, bahkan bagaimana agar tidak banyak orang yang tahu kalau dialah dan Pak Purna yang melakukan ini semua. Atau saat ketika Rakib dan Pak Purna pulang sehabis takziah dari rumah Agus. Terlihat jelas wallpaper bidak catur di dinding ruang tamu tersebut. Pasalnya setelah adegan tersebut, Rakib sudah mulai merencanakan untuk pergi dari rumah dan jeratan Pak Purna. Meski akhirnya rencana atau strategi tersebut gagal, tapi ini semakin meluruskan bahwasannya ada simbol-simbol yang tidak semuanya ketahui. Namun, lagi-lagi seperti yang diutarakan oleh Herbert Mead yang dikutip melalui Doyle Paul Johnson (1986 : 14) bahwa pemikiran terkait makna simbolik adalah pemikiran yang subjektif. Mungkin bagi penulis bisa beranggapan demikian, tapi akan jauh berbeda dengan individu lain, atau bahkan sangat berbeda dengan isi pikiran sutradara yang membuat film ini.
 
 Meski begitu, pesan-pesan kekuasaan yang sedemikian rumit tersebut, tidak akan tersampaikan dengan jelas tanpa adanya pemahaman subjektif dari tiap-tiap individu. Seperti yang sudah disampaikan di awal dan sempat disebut berulang-ulang, bahwasannya film ini bukanlah sekedar film untuk hiburan saja. Melainkan ini adalah representatif dari situasi politik Indonesia yang masih dikekang oleh penguasa. Memberikan janji manis, demi menahan konflik agar tidak terjadi. Pada akhirnya konflik tersebut akan memuncak dengan sendirinya. Dengan begitu, cara Dahrendorf yang menyatukan fungsional dan konflik adalah hal yang belum sepenuhnya benar. Walau di awal Dahrendorf yang dikutip dari Craib (1986 : 92), bahwa Dahrendorf tidak bermaksud untuk menggantikan teori konsensus (fungsional) milik Durkheim. Akan tetapi, hal tersebut harus menyesuaikan dengan kondisi sosial-politik suatu wilayah. Jika dalam kondisi film ini, kondisi pemimpin sebagai penguasa terbilang terlalu mengekang dan akan menimbulkan konflik yang justru akan menimbulkan runtuhnya kekuasaan milik Pak Purna, sehingga terjadilah perpindahan kekuasaan dari Pak Purna kepada Rakib.

Posting Komentar

0 Komentar