[DILEMA] - Menggugat Kekuasaan: Sejarah Panjang Gerakan Mahasiswa Indonesia
Judul: Menggugat Kekuasaan: Sejarah Panjang Gerakan Mahasiswa Indonesia
Penulis: Zaka Nuradani Al-Ghifari
Mahasiswa sering disebut sebagai agent of change sekaligus moral force bangsa. Julukan itu lahir bukan tanpa alasan, melainkan melalui perjalanan sejarah panjang di mana mahasiswa selalu hadir di garda depan ketika nurani rakyat terluka. Maka, ketika hari ini muncul pernyataan dari pejabat publik yang merendahkan rakyat dengan sebutan tidak pantas, mahasiswa ditantang untuk kembali menunjukkan peran kritisnya. Pernyataan semacam itu tidak boleh dianggap remeh, sebab ia bukan hanya sekadar kata, tetapi cerminan dari sikap arogansi kekuasaan yang berpotensi melemahkan kepercayaan rakyat. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa seharusnya hadir sebagai pengingat, bahwa kekuasaan pada hakikatnya adalah amanah, bukan alat untuk merendahkan.
Sejarah bangsa ini sudah berulang kali mencatat bagaimana mahasiswa memainkan peran vital dalam mengawal arah negara. Kita mengenal momentum 1908, ketika Budi Utomo lahir dari rahim kaum terpelajar yang percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah jalan menuju kemerdekaan bangsa. Lalu 1928, Sumpah Pemuda menjadi bukti bahwa kesadaran nasional tak lepas dari keberanian pemuda menembus sekat primordial. Pada 1966, mahasiswa bersatu menuntut perubahan politik dan menegaskan bahwa suara mereka bisa mengguncang kursi kekuasaan. Begitu pula pada 1998, ketika mahasiswa turun ke jalan dengan segala risiko, hingga akhirnya mampu membuka pintu reformasi dan menumbangkan rezim otoriter. Semua catatan sejarah itu menunjukkan bahwa mahasiswa bukan sekadar penonton, melainkan aktor penting dalam menegakkan martabat rakyat.
Dengan warisan sejarah yang begitu kaya, mahasiswa masa kini tidak boleh tenggelam dalam apatisme. Menjadi kritis tidak selalu identik dengan turun ke jalan; ia juga bisa diwujudkan lewat kajian akademik yang tajam, tulisan yang menggugah, advokasi kebijakan, hingga gerakan sosial yang menyuarakan keadilan. Yang paling penting, mahasiswa harus berani menjaga jarak kritis dengan kekuasaan. Sebab, jika mahasiswa ikut larut dalam pragmatisme atau sekadar mencari kenyamanan, maka mereka telah mengkhianati warisan sejarah yang diwariskan generasi sebelumnya.
Oleh karena itu, pernyataan yang merendahkan rakyat seharusnya menjadi alarm bagi mahasiswa untuk kembali ke jati dirinya. Dengan sikap kritis, mahasiswa dapat mengingatkan pemerintah bahwa rakyat bukan objek hinaan, melainkan subjek utama dalam kehidupan bernegara. Tanpa rakyat, tidak ada legitimasi kekuasaan. Dengan demikian, sikap kritis mahasiswa hari ini bukan hanya tugas moral, tetapi juga kesinambungan dari perjalanan sejarah panjang mahasiswa Indonesia sebagai penjaga nurani bangsa.

Posting Komentar
0 Komentar