[DILEMA] - Delpero, Syahdan, dan Muzzafar: Suara yang Tak Diizinkan Pulang

Judul: Delpero, Syahdan, dan Muzzafar: Suara yang Tak Diizinkan Pulang

Penulis: Zaka Nuradani Al Ghifari

Kami sudah muak putus asa besar, mimpi tak pernah berjalan lancar.” 
-Dongker, Di Sarankan di Bandung

Ada getir yang mengendap di dalam kalimat itu sebuah kelelahan yang lahir dari cinta pada negeri yang terus menolak untuk berubah. Lirik itu bukan sekadar nyanyian band bawah tanah; ia gema dari generasi yang terus disarankan untuk diam, disuruh bersabar, diajak melupakan. Tapi bagaimana mungkin melupakan jika luka masih terasa di udara, dan ketidakadilan masih berbaris di depan mata? 

Delpedro, Syahdan, dan Muzzafar bukanlah nama besar. Mereka tak punya pangkat, tak memegang jabatan, dan mungkin baru kita dengar hari ini. Namun justru dari ketiganya, kita melihat wajah bangsa yang kehilangan arah moralnya: bangsa yang menyanjung kekuasaan, tapi menghukum keberanian. 

Mereka tak merampok, tak menipu, tak melukai siapa pun mereka hanya bersuara. Namun di negeri ini, mengucapkan kebenaran tanpa izin masih dianggap pelanggaran berat. 

Sejarah pun kembali berulang. Mereka yang menuntut keadilan dibungkam, sementara para penabur ketakutan diangkat sebagai pahlawan. Nama Soeharto kini kembali dielu-elukan, seolah tangan besinya tak pernah mencekik kebebasan, seolah darah dan air mata yang tertumpah hanyalah noda kecil di lembar masa lalu yang bisa dimaafkan begitu saja.

Ironi bangsa ini bukan sekadar lupa, tapi cara kita memuja pelupaan itu. Saat korban masih mencari ruang untuk dikenang, negara justru menyalakan obor penghormatan bagi pelaku yang menenggelamkan mereka dalam gelap. Kita menepuk tangan di upacara, tapi menutup telinga pada jerit sejarah. 

Kini, Delpedro, Syahdan, dan Muzzafar memang di balik jeruji, tapi gema suara mereka menembus tembok penjara. Mereka bukan kriminal mereka adalah pengingat bahwa keberanian masih dianggap penyakit di negeri yang memuja kepatuhan. Mereka adalah cermin kecil dari luka besar: bahwa kebenaran selalu datang dengan risiko, dan bahwa kejujuran masih memerlukan nyali untuk diucapkan.

Kita mungkin belum mampu membebaskan mereka, tapi kita bisa menolak diam. Karena diam adalah bentuk lain dari persetujuan. Karena di setiap kali kita memilih bungkam, sejarah sedang menulis ulang dirinya tanpa kita.

Dan kelak, ketika lembar baru bangsa ini ditulis oleh generasi yang tak lagi takut, mungkin nama-nama seperti Delpedro, Syahdan, dan Muzzafar akan disebut bukan sebagai tahanan, tapi sebagai saksi.

Saksi bahwa di negeri ini, pahlawan sejati bukan mereka yang diangkat oleh negara, melainkan mereka yang tetap setia pada kebenaran meski negara menuduhnya sebagai dosa.

Posting Komentar

0 Komentar