[DILEMA] - TELADAN PERJUANGAN WANITA UNTUK KEMAJUAN BANGSA

 


Judul        : Teladan Perjuangan Wanita untuk Kemajuan Bangsa

Penulis    : Salwa Shabina

"Jika hari ini perempuan bebas memilih, bersuara lantang, dan mengejar mimpi setinggi langit, siapakah yang dahulu pertama kali berani bertanya: 'Mengapa tidak?'” 

Pertanyaan ini mungkin tak pernah muncul di benak kita ketika memperingati Hari Kartini. Kita sering kali hanya mengingatnya sebagai sosok berjasa bagi perempuan, tanpa benar-benar menelusuri relevansi semangatnya dalam kehidupan perempuan Indonesia hari ini. Padahal, lebih dari sekadar simbol, Kartini adalah api pertama yang menyulut perubahan besar: bahwa perempuan bisa dan layak berdiri sejajar dengan laki-laki. Lalu, jika hari ini Kartini menyaksikan kita, apakah ia akan bangga? Apakah perjuangannya sudah membuahkan hasil yang setimpal?
 

Kartini bukan sekadar tokoh dalam buku sejarah atau nama yang diperingati setiap 21 April. Ia adalah gagasan, keberanian, dan semangat pembebasan yang hidup dalam setiap langkah perempuan Indonesia hari ini. Ia adalah suara pertama yang menggugat ketidakadilan, yang dalam sunyi menulis tentang impian perempuan bisa belajar, berpikir, dan memilih jalan hidupnya sendiri—di tengah dunia yang kala itu menolak semua itu bagi kaum perempuan. Namun perjuangan tidak berhenti pada masa hidup Kartini. Justru, seperti bara yang ditinggalkan dalam gelap, ia menyalakan api pada banyak jiwa setelahnya: Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, hingga perempuan-perempuan masa kini yang melanjutkan perjuangan dalam bentuk yang berbeda—dari ruang kelas, panggung politik, hingga medan teknologi. Perubahan yang kita nikmati saat ini tidak datang dengan mudah; ia lahir dari keberanian untuk terus bertanya dan melawan arus zaman (Sari, 2023; Putri, 2020).
 

Kini, ketika perempuan mulai menduduki kursi-kursi penting dalam birokrasi, akademisi, dan dunia usaha, kita patut bertanya pada diri sendiri: apakah akses dan kesetaraan itu sudah merata? Apakah suara perempuan di pelosok desa, di daerah tertinggal, atau di lingkungan konservatif juga mendapat ruang untuk bermimpi? Kartini mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada mereka yang sudah ‘jadi’, tetapi juga harus menjangkau mereka yang belum sempat bermimpi. Maka, menjadi Kartini masa kini bukanlah perkara mengenakan kebaya setiap April. Itu tentang keberanian mempertanyakan norma yang membatasi, tentang mengulurkan tangan pada sesama perempuan, dan tentang tidak pernah puas dengan kemajuan yang setengah-setengah. Sebab semangat Kartini bukan tentang hari, melainkan arah: ke masa depan yang lebih adil, setara, dan merdeka bagi seluruh perempuan Indonesia (Nurohmah et al., 2023).
 

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dari keluarga bangsawan Jawa. Dalam ikatan budaya yang membelenggu perempuan, Kartini justru tumbuh menjadi sosok pemberontak dalam pikirannya—berani melawan norma, menulis gagasan, dan bercita-cita besar demi hak-hak perempuan (Kartini, 2021). Kartini memang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita, namun sejatinya ia adalah pemikir tajam yang mampu menembus zaman. Dalam surat-suratnya kepada sahabatnya di Belanda, ia mengungkapkan kekhawatiran tentang pendidikan perempuan yang tertinggal jauh. Pendidikan, baginya, bukan hanya sarana untuk menjadi cerdas, tetapi alat pembebas dari keterkungkungan sosial (Sari, 2023; Putri, 2020).
 

Namun, yang membuat Kartini berbeda bukan sekadar kegemarannya belajar, melainkan keberaniannya untuk mempertanyakan sistem yang ada. Ia mempertanyakan pernikahan yang hanya berlandaskan status sosial, ia melawan pandangan bahwa perempuan cukup tinggal di rumah tanpa suara, dan ia mengusulkan pendidikan bagi perempuan di tengah gelombang konservatisme budaya (Sari & Wibowo, 2022). Lantas, bagaimana kondisi perempuan Indonesia kini setelah satu abad lebih sejak Kartini menulis surat-suratnya?
 

Dari satu sisi, perempuan sudah mulai mengambil peran dalam berbagai lini kehidupan: mereka menjadi pemimpin perusahaan, menteri, hingga pengusaha sukses. Salah satunya adalah Ibu Nurhayati Subakat, pendiri PT Paragon Corp yang berhasil membangun perusahaan berbasis nilai kebermanfaatan dan pemberdayaan perempuan. Ia tak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menginspirasi ribuan perempuan untuk bermimpi besar. Namun di sisi lain, tantangan masih ada. Ketimpangan gender dalam akses pendidikan, kekerasan berbasis gender, dan diskriminasi di tempat kerja masih menjadi kenyataan yang pahit. Bahkan di beberapa wilayah, perempuan masih kesulitan mendapatkan perlindungan hukum atau pengakuan sosial yang setara. Jadi, meski jalan telah dibuka oleh Kartini, kita belum sampai pada garis akhir (Sari, 2023; Putri, 2020).
 

Lalu, bagaimana cara kita sebagai perempuan muda Indonesia bisa menjadi teladan seperti Kartini? Pertama, kita perlu berani berpikir kritis seperti Kartini. Tidak semua perempuan punya kesempatan untuk bersuara, maka yang memiliki suara harus menggunakannya untuk mereka yang tak terdengar. Kedua, kita harus terus belajar dan mengembangkan diri. Kartini percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah pembebas. Di zaman serba digital ini, akses belajar semakin mudah. Maka, perempuan masa kini seharusnya mampu bersaing di berbagai bidang, dari STEM hingga kebijakan publik. Ketiga, kita harus membangun solidaritas sesama perempuan. Perempuan yang kuat adalah mereka yang saling menguatkan. Seperti Kartini yang menulis surat untuk memperjuangkan perempuan lain, kita pun harus bersedia turun tangan dalam isu-isu sosial yang memarginalkan perempuan (Sari & Wibowo, 2022).
 

Kartini wafat di usia 25 tahun, usia yang hari ini mungkin baru menjadi awal langkah banyak perempuan mengejar cita-cita. Namun, dalam singkatnya hidup, Kartini meninggalkan jejak yang begitu kuat hingga mengubah wajah Indonesia. Semangat Kartini bukan sekadar sejarah yang dibaca ulang setiap bulan April. Ia adalah semangat yang harus diterjemahkan dalam aksi nyata—dalam ruang kelas, dunia kerja, rumah tangga, dan panggung politik. Perempuan hari ini adalah Kartini-Kartini baru yang masih dan akan terus berjuang demi kemajuan bangsa (Nurohmah et al., 2023). Karena menjadi teladan bukan berarti harus sempurna. Cukup dengan terus melangkah maju, menebar manfaat, dan tidak pernah takut bertanya: "Mengapa tidak perempuan yang memimpin perubahan?"

Posting Komentar

0 Komentar