[DILEMA] - SEKOLAH BUKAN SEKADAR GEDUNG: MENAFSIR ULANG MAKNA PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA HARI PENDIDIKAN NASIONAL

 


Judul: Sekolah Bukan Sekadar Gedung; Menafsir Ulang Makna Pendidikan di Indonesia pada Hari Pendidikan Nasional

Penulis: Aqila Hasna Yunia


Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai penghormatan terhadap Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Namun, peringatan ini seringkali hanya menjadi seremonial belaka, tanpa diiringi refleksi mendalam terhadap makna pendidikan sejati. Pendidikan bukan sekadar aktivitas di dalam gedung sekolah, melainkan proses pembentukan karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia beriman, berakhlak mulia, dan mandiri (UU Sisdiknas, 2003).

Ki Hajar Dewantara, yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, melihat pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan, bukan hanya dari kebodohan, tetapi juga dari berbagai bentuk penindasan. Melalui pemikirannya dan perjuangannya dalam mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, ia menekankan pentingnya pendidikan yang berpihak pada rakyat, berakar dari budaya bangsa, dan membangkitkan semangat kebangsaan (Kompasiana, 2016). Pandangan visioner ini menolak praktik pendidikan kolonial yang elit dan diskriminatif, dan relevansinya tetap terasa hingga saat ini, ketika pendidikan sering kali dipersepsikan sebagai semata-mata proses penyampaian pengetahuan, bukan sebagai upaya untuk mentransformasi manusia secara utuh.

Pendidikan seharusnya mampu memanusiakan individu, menghasilkan warga negara yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kesadaran sosial, empati, dan semangat kebersamaan. Namun, keadaan pendidikan di Indonesia saat ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama dalam hal kesenjangan akses dan kualitas. Anak-anak di daerah terpencil seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, serta beberapa bagian Kalimantan dan Sulawesi sering kali mengalami kesulitan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan dasar yang memadai, seperti bangunan sekolah yang layak, akses internet, buku ajar, dan bahkan guru yang memenuhi kualifikasi (Student Activity BINUS, 2024).Kesenjangan ini semakin diperburuk oleh distribusi guru yang tidak merata. Banyak guru berkualitas terfokus di kota-kota besar, sedangkan daerahdaerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sering kali kekurangan tenaga pengajar yang profesional. Di sisi lain, kesejahteraan guru juga tetap menjadi masalah mendasar. Rendahnya gaji guru honorer, kurangnya jaminan sosial, serta beban administratif yang tinggi menjadikan profesi guru belum mendapatkan apresiasi yang semestinya (The Columnist, 2024). Padahal, guru adalah ujung tombak pendidikan; tanpa kehadiran guru yang sejahtera dan termotivasi, sangat sulit untuk mencapai tingkat pendidikan yang berkualitas.

Pemerintah Indonesia berupaya menghadapi tantangan ini melalui program Merdeka Belajar, yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak tahun 2019. Program ini bertujuan untuk membebaskan proses pembelajaran dari kurikulum yang terlalu kaku serta birokrasi yang menghambat kreativitas baik guru maupun siswa. Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan bagi sekolah untuk menyesuaikan materi ajar sesuai dengan kebutuhan lokal dan karakteristik siswa (UNWAHA, 2024). Namun, penting untuk dicatat bahwa implementasi kebijakan ini tidak seharusnya berhenti di tingkat kebijakan saja. Diperlukan pendampingan, pelatihan, dan pengawasan yang konsisten agar program ini benar-benar dapat berjalan efektif di seluruh wilayah.

Di sisi lain, inovasi dalam pembelajaran seperti hybrid learning (kombinasi antara pembelajaran daring dan luring) semakin menjadi vital, terutama setelah pandemi COVID19 yang telah mengubah cara pandang kita terhadap ruang belajar. Namun, inovasi ini hanya akan memberikan dampak positif jika diiringi dengan peningkatan literasi digital bagi guru dan siswa. Data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa masih banyak guru yang belum memiliki kompetensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang memadai, terutama di daerah pedesaan (Monologis. ID, 2024). Selain itu, dalam proses transformasi digital dalam pendidikan, diperlukan perubahan budaya belajar yang bersifat adaptif dan kolaboratif.

Pendidikan seharusnya tidak hanya dipandang sebagai cara untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil, tetapi juga sebagai upaya menanamkan nilai-nilai luhur bangsa. Di tengah berbagai tantangan seperti globalisasi, disrupsi teknologi, dan krisis identitas, peran pendidikan sangat penting untuk menjaga persatuan sosial dan menumbuhkan semangat kebangsaan. Nilai-nilai seperti kebhinekaan, toleransi, dan gotong royong perlu terus ditanamkan dalam sistem pendidikan nasional (Universitas Serang Raya, 2024). Tanpa fondasi nilai tersebut, generasi muda dapat terjebak dalam ekstremisme, polarisasi politik, dan kehilangan jati diri sebagai bangsa. Sekolah seharusnya lebih dari sekadar tempat belajar; ia harus menjadi wadah untuk membentuk karakter dan mendemokratisasikan pengetahuan. Pendidikan yang berakar pada nilai-nilai lokal namun tetap terbuka terhadap perkembangan global dapat menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, merdeka, dan berdaya saing. Visi Ki Hajar Dewantara yang memandang pendidikan sebagai sarana pembebasan perlu diperjuangkan tidak hanya sebatas wacana, tetapi juga melalui tindakan nyata di setiap penjuru negeri.


Kesimpulan

Pendidikan bukan sekadar soal gedung dan kurikulum, melainkan pembentukan watak, etika, dan masa depan bangsa. Hari Pendidikan Nasional adalah saat yang tepat untuk merefleksikan kembali esensi pendidikan Indonesia. Dengan memperbaiki akses, kualitas, serta menyesuaikan sistem pembelajaran dengan tantangan zaman, Indonesia bisa melahirkan generasi yang merdeka, unggul, dan berkarakter.


Daftar Pustaka

Kompasiana. (2016). Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Pendidikan Melawan Penjajah.Student Activity BINUS. (2024). Hari Pendidikan Nasional: Momentum Refleksi untuk Pendidikan yang Lebih Berkualitas.

The Columnist. (2024). Refleksi dan Harapan di Hari Pendidikan Nasional.KH. A. Wahab Hasbullah (UNWAHA). (2024). Bergerak Bersama Lanjutkan Merdeka Belajar.

Monologis.ID. (2024). Peningkatan Kualitas Pendidikan: Tantangan, Peluang, dan Solusi.Universitas Serang Raya. (2024). Refleksi Hari Pendidikan Nasional: Tantangan dan Harapan Melalui Pendidikan.

UU Sisdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Posting Komentar

0 Komentar