[SOLID] - SOSIOLOGI INOVATIF & DEMOKRATIS
Terkadang sejarah tidak tercatat dalam buku pelajaran, tetapi mengalir dalam kesunyian keluarga, dalam trauma yang belum pulih, dan dalam kisah yang ditekan untuk tidak pernah diungkapkan. Menurut novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori, Laut Bercerita merupakan suara dari tempat-tempat sepi tersebut. Sebuah cerita yang tidak hanya menghidupkan kembali masa suram Orde Baru, tetapi juga mengungkap bagaimana kekuasaan dapat hadir dalam jasad yang telah tiada, dalam nama yang terlupakan dari sejarah, dan dalam air mata yang belum pernah jatuh karena rasa takut.
Dalam naratifnya, Laut Bercerita berfungsi sebagai sebuah rekonstruksi sejarah dari dua perspektif dari mereka yang terperosok dalam kekuasaan dan dari mereka yang dibiarkan untuk terus mempertanyakan. Buku ini terbagi menjadi dua bagian pokok. Pertama, suara dari Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang dengan tegas menentang ketidakadilan. Suara mereka kita dengar dari catatan pribadi, kenangan tentang gerakan bawah tanah, dan akhirnya dari ruangan interogasi yang dingin dan tanpa identitas. Di tempat ini, kekuasaan ada dengan kejam. Ia tidak tampak, tetapi menyerang dengan kuat. Melalui jasad-jasad yang menderita, kita menyaksikan wajah kekuasaan Orde Baru yang tidak hanya menindas, tetapi juga terencana dalam membungkam siapapun yang berani bersuara. Kemudian muncul bagian kedua, suara Asmara Jati saudari dari Biru Laut yang mewakili mereka yang tak pernah mendapatkan jawaban. Mereka yang menanti kepastian, tetapi justru diberikan kehilangan.
Perspektif Asmara Jati sangat relevan karena ia menggambarkan dimensiberbeda dari kekuasaan yang menghasilkan ketidakjelasan kekuasaan yang mengambilhak untuk berbicara dengan sepenuhnya. Dalam pencarian Asmara Jati, dalamkeputusasaannya yang perlahan berubah menjadi keberanian. Kita melihat bagaimanakekuasaan tidak hanya menyerang aktivis, tetapi juga menghancurkan struktur sosialdan emosional keluarga. Karakter-karakter dalam novel ini tidak muncul sebagaisosok individu. Mereka muncul sebagai jalinan solidaritas, sebagai gerakan, sebagaikelompok masyarakat. Biru Laut, Sunu, Daniel, Damar mereka bukan sekadar nama,tetapi lambang dari idealisme dan keberanian. Mereka adalah suara-suara yang tidakingin jadi pahlawan, hanya ingin menjadi manusia yang berani mengungkapkankebenaran. Di pihak lain, kekuatan yang diwakili oleh tentara dan para penguasatersembunyi tidak disebutkan. Mereka adalah figur-figur asing, namun benar-benarada. Kekuasaan dalam novel ini bukanlah individu tetapi lebih kepada sistem struktur,serta ketakutan yang terinstitusionalisasi.
Asmara Jati tidak menyebutkan nama Soeharto ataupun Kopasus . Dia jugatidak menyebutkan tanggal-tanggal penting dalam sejarah Indonesia secara langsung.Namun kita menyadari, kita mengalaminya. Setiap kalimat, setiap kenangan, setiapteriakan yang terpendam dalam novel ini mengacu pada waktu di mana negaramemanfaatkan kekuatannya bukan untuk melindungi, melainkan untuk menghapus.Ketika kekuasaan mulai melampaui batas-batas kemanusiaan. Namun, di tengahsegala sesuatu, lambang laut menjadi sangat kuat. Biru Laut bukan sekadar namakarakter, Laut merupakan area kehilangan, di mana tubuh-tubuh dibuang tanpa tanda.Namun juga laut merupakan ruang ingatan, ruang perlawanan, ruang yang tidak dapatdibisukan. Meskipun tubuh-tubuhnya terbenam, Laut tetap menjelaskan apa yangsebenarnya terjadi.
Dengan semua ini, Laut Bercerita tidak hanya sekadar sebuah karya sastra. Iamerupakan rekaman emosi dan catatan sejarah yang berbeda. Dia adalah saksi danjuga penuntut. Melalui struktur naratif yang memisahkan antara suara korban dansuara pencari, serta melalui karakter-karakter yang tak terlupakan. Novel inimenggambarkan kekuasaan otoriter sebagai kekuatan yang mengoyak berbagaidimensi fisik, sosial, dan psikologis. Dan saat halaman terakhir ditutup, kitamenyadari bahwa ini bukanlah sebuah akhir. Karena seperti lautan, kisah ini akanterus mengalir, menanti untuk didengarkan, menanti untuk dicatat kembali dengansepenuh hati.
Setiap negara memiliki rahasia. Namun tidak semua negara menekan merekayang berusaha mengungkapkannya. Dalam Laut Bercerita, Leila S. Chudori tidaktengah membangun dunia khayalan. Ia mengungkap kembali ruang-ruang sejarah yangtelah disembunyikan oleh kekuasaan. Ia menghidupkan kembali suara-suara yang,bukannya diingat, malah diabaikan. Novel ini adalah tantangan terhadap negara yangmenindas, bukan hanya dengan satu peluru, melainkan dengan seribu cara yang lebihhalus, lebih dalam, dan lebih menyakitkan. Di balik cerita Biru Laut danteman-temannya, anak-anak muda yang berani menentang ketidakadilan tersembunyisebuah sistem penindasan yang beroperasi layaknya mesin dingin, teratur, dan tanpabelas kasihan. Penindasan yang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menghancurkanakal, harapan, dan bahkan ingatan bersama.
Salah satu bentuk penindasan yang paling mencolok adalah proses penahananilegal dan penyekapan yang dijalani oleh Laut dan kawan-kawannya. Tidak ada aktivisyang dibawa ke pengadilan atau lembaga hukum resmi setelah mereka ditangkap.Sebaliknya, mereka dimasukkan ke dalam ruang tahanan rahasia yang terisolasi darisegala sesuatu yang ada di luar sana. Meskipun mereka belum pernah diadili atauterbukti bersalah secara hukum, mereka dipenjara di sel-sel kecil dengan jeruji,layaknya penjahat kelas berat. Interogasi terhadap mereka melibatkan penyiksaan fisikdan psikologis berulang kali. Setelah interogasi yang menyiksa tubuh disetrum, wajahditampar, kata-kata dipaksa keluar mereka tidak dibiarkan kembali ke rumah. Merekadikembalikan ke ruang jeruji besi yang lembab dan sunyi. Setiap malam adalahkeheningan yang memekakkan, setiap pagi adalah pengulangan dari siksaan harikemarin. Laut dan kawan-kawannya benar-benar terisolasi, mereka bahkan tak tahutanggal berapa, jam berapa. Satu-satunya petunjuk bahwa waktu masih bergerakdatang dari radio tua di pojok ruang interogasi, yang sesekali memutar berita. Darisanalah mereka meraba-raba “Oh, ini sudah bulan baru,” atau “Hari ini mungkinMinggu.” Dan itu pun hanya perkiraan.
Kata “menyerah” berkali-kali menggantung di ujung lidah mereka. Tapimereka saling menguatkan, walau kadang hanya dengan tatapan mata, walau suarapun tak boleh terlalu keras. Di antara jeruji dan dinding berjamur itu, persaudaraanmereka tumbuh dari rasa sama-sama dibuang, sama-sama diasingkan, sama-sama takbersalah tapi dihukum. Dan ketika sistem memutuskan mereka tak bisa "dibina",mereka dihabisi. dibuang. Bukan ke pengadilan, bukan ke pengasingan resmi. tapi kelaut. Tubuh-tubuh mereka diikat dengan pemberat dan dilemparkan ke kedalaman airyang tak mengenal ampun. Tanpa nisan. Tanpa nama. Seolah-olah mereka tak pernahada.
Tubuh mereka menghilang, nama mereka dihilangkan dari arsip. Mereka tidakdianggap mati secara resmi. Mereka hanya lenyap, terputus dari sejarah, dari keluarga,dari dunia. Di sini kita menjumpai bentuk penindasan yang lebih mendalam dimanapenghilangan secara paksa sebagai kebijakan pemerintah. Bukan hanya bencanaindividu, tetapi juga taktik politik untuk membangun ketakutan yang sistemik. Negaramengendalikan bukan hanya area, tetapi juga waktu. Ia menghasilkan keteganganyang menggantung antara hidup dan mati, antara pengetahuan dan ketidaktahuan,antara usaha dan keputusasaan.
Di luar ruang penyelidikan, dalam dunia yang terlihat lebih "biasa",penindasan masih berlangsung. Ia muncul dalam pengawasan yang tersembunyi,penekanan, dan penandaan negatif. Keluarga para pejuang ditonton, dibisikkan,diminta untuk tidak berbicara. Mereka tidak hanya kehilangan anak atau saudara,tetapi juga kehilangan hak untuk mengajukan pertanyaan. Kita bahas mengenai bentuk penindasan yang paling halus yaitu penghilangan narasi. Negara tidak hanya membungkam suara, tetapi juga tulisan. Tidak terdapat catatan resmi mengenaipenculikan tersebut. Tak ada museum bagi mereka yang menghilang. Tidak adapelajaran sejarah yang menggambarkan usaha mereka. Sejarah disusun olehorang-orang yang memiliki kekuasaan. Mereka pun memilih untuk tidak berkata apa-apa.
Adik laut tidak memilih untuk tetap diam. Ia bersuara apa yang takdiungkapkan dan mengungkap kembali sejarah dari perspektif yang selama initerabaikan. Ia mengungkapkan bahwa penindasan tidak hanya berkaitan dengankekerasan, tetapi juga tentang siapa yang diizinkan berbicara dan siapa yang dipaksamelupakan. Justru di situlah daya tarik novel ini ia tidak memberikan solusi, tetapimeminta kejujuran. Ia mendorong kita untuk mempertanyakan seberapa banyakkebenaran yang telah ditenggelamkan oleh negara? Seberapa banyak luka yang perlukita buka untuk memulai keadilan?
Karena Laut Bercerita bukan sekadar cerita mengenai masa lalu. Ini adalahperingatan mengenai kemungkinan yang muncul ketika kekuasaan tidak lagi diawasi, ketika negara menganggap tidak perlu meminta maaf, dan ketika kita masyarakatnyaterlalu letih untuk mengingat. Selama ada yang membaca, selama ada yang menulis,selama laut masih mampu berbicara, sejarah tidak akan pernah sepenuhnya terdiam.Dan mungkin, itulah satu-satunya hal yang masih dapat menyelamatkan kita.
Dalam dunia yang dikendalikan oleh satu narasi negara, di mana sejarah ditulisoleh penguasa dan rakyat hanyalah catatan yang dapat dihapus kapan saja, perlawanansering kali tidak terlihat dalam bentuk besar atau ribut. Dalam Laut Bercerita, Leila S.Chudori menunjukkan kepada kita bahwa perlawanan dapat muncul daritempat-tempat paling sepi dari obrolan kecil di kamar kos, dari selebaran yangdisebarkan secara diam-diam, dari tubuh yang menolak menyerah, hingga dari seorangadik yang terus mencari kakaknya yang menghilang.
Biru Laut dan teman-temannya merupakan simbol dari generasi muda yangtidak mau tinggal diam menghadapi ketidakadilan. Mereka membaca, berdialog,menyusun, dan turun langsung menghadapi ketidakadilan. Mereka merupakan bagiandari jaringan bawah tanah yang berusaha menyadarkan masyarakat, bukan melaluiagitasi yang kaku, melainkan dengan kesadaran bahwa kemiskinan bukanlah takdir,bahwa kekerasan bukanlah kebetulan, dan bahwa negara tidak selalu benar. Namun, dinegara yang takut akan kesadaran kritis, tindakan-tindakan tersebut mudah dijadikansebagai subversif. Mereka ditangkap satu per satu. Diculik, dihapus, dan dimasukkanke dalam tempat-tempat rahasia tanpa prosedur hukum. Di sinilah bentuk perlawananbertransformasi, dari yang bersifat kolektif menjadi individu, dari yangterang-terangan menjadi yang rahasia. Namun, semangatnya tetap konsisten. Bahkanketika menderita dan diperiksa, Biru Laut dan teman-temannya memutuskan untuktetap diam. Mereka enggan menyebutkan nama dan menolak untuk mengkhianatigerakan. Di tengah rasa sakit fisik dan keruntuhan mental, mereka tetap memegangsatu hal yang tak dapat dirampas oleh penyiksa integritas.
Laut tidak memberikan kita penutup yang berani. Tidak ada keberhasilan yang mencolok. Yang tersisa justru kehampaan, kesunyian, dan cedera yang tak kunjung pulih. Namun di sanalah tersimpan kekuatan novel ini ia menolak untuk menyederhanakan realitas. Ia menunjukkan bahwa dalam kondisi represif, bertahanhidup sesuai prinsip adalah bentuk perlawanan yang paling ekstrem. Perlawanan tetapberlanjut di ruang interogasi. Setelah laut sirna, cerita beralih kepada mereka yangtertinggal terutama Asmara Jati. Sebagai saudari dari Laut, dia enggan melupakan.Seorang adik yang ingin mencari posisi sang kakak. Ia menjaga ingatannya, Ia jugaterlibat dalam gerakan keluarga korban yang meminta akuntabilitas dari negara. Dandalam aksinya, kita menyaksikan bahwa ingatan merupakan area perlawanan yang takkalah pentingnya dari aksi kolektif. Mengingat berarti menolak penghilangan,menolak narasi sejarah yang disucikan oleh negara.
Aspek yang paling menggugah dari Laut Bercerita adalah bahwa novel inimerupakan suatu bentuk perlawanan melalui narasi. Ia menuliskan kembali apa yangingin dihilangkan. Ia memberikan sebutan kepada mereka yang identitasnya telahdiambil dan mengangkat kembali suara-suara yang terdiam. Di negara yang berupayamengatur memori kolektif, sastra semacam ini berfungsi sebagai sarana untukmengakses kembali ruang kebenaran yang tertutup.
Jadi, saat kita membaca Laut Bercerita kita tidak hanya sekedar membaca cerita tentang seorang aktivis yang diculik. Namun kita juga melihat bagaimanakekuasaan beroperasi dalam senyap, serta bagaimana manusia menentangnya jugasecara diam-diam. Kita mengamati bahwa dalam kegelapan sejarah, selalu adaindividu yang memilih untuk menyalakan lilin, walaupun menyadari bahwa cahaya itumungkin tidak akan cukup untuk mengubah dunia. Namun mungkin, sebagaimanayang digambarkan dalam novel ini, menerangi bukanlah soal mengubah dunia,melainkan tentang menolak menjadi bagian dari kegelapan.
Di balik narasi perlawanan yang keras dan lantang, Laut Bercerita menyisakanruang-ruang sunyi yang penuh luka: ruang kosong untuk mereka yang ditinggalkan.Kehilangan dalam novel ini bukan hanya sebatas tidak adanya kehadiran fisik dariseorang Biru Laut Wibisana, tetapi juga ketidakmampuan untuk berduka secara penuh.Karena bagaimana seseorang bisa meratapi kehilangan, jika tubuhnya saja tak pernahditemukan, jika kabarnya tak pernah dikabarkan dan jika kematiannya tak pernahdiakui?
Asmara Jati, adik Biru Laut, menjadi penanda dari luka yang tak terlihatnamun tak juga sembuh. Psikologisnya seperti berlayar di antara harapan dan traumayang tidak pernah selesai. Tidak ada pemakaman. Tidak ada kepastian. Tidak adakejelasan. Yang ada hanyalah malam-malam penuh mimpi buruk dan siang-siang penuh pertanyaan. Ia berjalan dalam keheningan yang memekakkan—keheningan negara, keheningan hukum, dan keheningan para penguasa yang menolak menyebut nama-nama mereka yang telah hilang. Dalam sunyi itulah, novel ini menemukan bentuk perlawanan yang lain: bukan dengan teriakan, tetapi dengan ingatan dengan menolak melupakan.
Dampak psikologis ini mencerminkan kondisi yang disebut dengan “ambiguous loss” kehilangan yang tidak pasti dan tak bisa disimpulkan. Keadaan inijauh lebih menyakitkan karena perasaannya tidak memiliki akhir yang jelas. Ia hidup dengan bayangan bahwa Laut—kakaknya, mungkin masih hidup, atau mungkin sudah tiada. Namun, harus kemana ia mencarinya? Bahkan untuk sedih pun ia tak punya pegangan. Dan tidak hanya Asmara Jati, orang tua, pasangan, teman dekat, mereka semua mengalami kehancuran yang memekikkan. Mereka tidak bisa mengubur, tidak bisa mengenang, tetapi juga tidak bisa menyembuhkan. Mereka menjalani hidup dengan luka yang terbuka. Novel ini menyuarakan bahwa penindasan tak hanya menganiaya mereka yang lantang bersuara, tetapi juga menghancurkan secaraperlahan mereka yang dipaksa untuk tetap diam.
Di tengah luka yang menggantung, Asmara Jati dan keluarga korban lainnyatidak tinggal diam. Mereka perlahan belajar bertahan dalam kehancuran, menciptakancara-cara bertahan hidup yang tak selalu terlihat. Menulis surat untuk orang yang hilang, mendatangi kantor lembaga hak asasi, bahkan sekadar menyebut nama-namamereka yang lenyap, semua itu menjadi bentuk coping mechanism yang sekaligusbertransformasi menjadi perlawanan. Dalam novel ini, penyintas tidak ditampilkansebagai korban yang pasif, tapi sebagai subjek yang—meski ringkih—tetap memilihuntuk mengingat dan melawan. Trauma diolah menjadi narasi, dan dari narasi, lahirkekuatan untuk tidak tenggelam.
Leila S. Chudori menulis bukan hanya untuk mengisahkan, ia menulis untukmenggugat. Laut Bercerita tidak lahir dari ruang kosong; tetapi produk darikemarahan, dari keinginan untuk mengingat peristiwa yang dengan sengajadihilangkan. Kritik sosial dalam novel ini menyasar kepada negara yang tidak hanyarepresif secara fisik, tetapi juga represif secara emosional dan kultural. Novel inimenyoroti bagaimana kekuasaan otoriter mengontrol narasi, menghilangkan catatansejarah, dan menciptakan budaya bisu yang membuat masyarakat takut untukbersuara. Kritik utama penulis adalah pada sistem yang tidak memberi ruang untukbersedih, tidak memberi ruang untuk bersuara, dan bahkan tidak memberi ruang untuksekadar mengingat.
Melalui tokoh-tokohnya, penulis menunjukkan bahwa negara telah gagalmelaksanakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Bukan hanya gagalmelindungi, tetapi juga aktif melukai. Penulis juga mengkritik budaya masyarakatyang perlahan menerima penghilangan sebagai bagian dari kenyataan, yang perlahanmelupakan karena terlalu lelah untuk mengingat. Kritik sosial dalam Laut Berceritabukan sekadar tentang masa lalu saja, tetapi juga tentang masa kini. Tentangbagaimana luka-luka sejarah yang tidak disembuhkan akan terus menganga dandiwariskan. Tentang bagaimana kebenaran tidak hanya harus dicari, tetapi juga harusdiperjuangkan. Kritik sosial dalam novel ini juga menyasar pada institusi-institusiformal seperti pendidikan, media, dan hukum yang seharusnya menjadi penjagakebenaran, namun justru menjadi alat legitimasi kekuasaan. Penulis memperlihatkanbahwa di bawah rezim otoriter, bukan hanya aparat keamanan yang menindas, tetapijuga para intelektual yang memilih diam, media yang memilih bungkam, dan sistemhukum yang bersekongkol dalam ketidakadilan. Ketika semua kanal resmi ditutup,narasi hanya bisa bertahan di ruang-ruang personal, dalam surat, mimpi, dan bisikankeluarga. Penulis seolah ingin mengatakan: jika negara, media, dan hukum tak bisadiandalkan, maka satu-satunya ruang perjuangan yang tersisa adalah tubuh daningatan manusia itu sendiri.
Dalam novel ini, kekuasaan tidak hanya hadir di dalam ruang penyiksaan atauruang militer. Kekuasaan hadir dalam bagaimana sejarah dituliskan, bagaimanaingatan rakyat terpaksa ditekan, dan bagaimana kebenaran menjadi eksklusif hanyamilik negara. Penulis memperlihatkan bahwa kekuasaan terbesar dari rezim otoriterbukanlah kekuatan militernya, melainkan kemampuannya untuk membentuk memoribaru—memori tanpa sejarah.
Novel ini menunjukkan bahwa mereka—negara—bukan hanya menghilangkanraga, tetapi juga menghilangkan narasi. Negara menolak mengakui, dan dengan itu,negara mengatur apa saja yang boleh dikenang dan apa saja yang harus dilupakan.Ketika keluarga mencoba mengingat, mereka bukan hanya melawan rasa kehilangan,tetapi juga melawan narasi resmi yang menyangkal kebenaran. Mengingat menjadibentuk aksi politis, mengingat menjadi bentuk perlawanan. Asmara Jati dangerakan-gerakan dari keluarga korban menjadi contoh nyata bahwa ingatan adalahsatu-satunya kekuatan yang bisa menyaingi otoritarianisme. Di titik inilah kekuasaandalam Laut Bercerita tidak hanya menyangkut dominasi politik, tetapi juga kekuasaanuntuk menentukan makna. Negara menghapus bukan hanya tubuh-tubuh aktivis, tetapijuga hak dasar untuk berduka, hak untuk mengingat, bahkan hak untuk tahu. Dan bagikeluarga korban, ini bukan hanya tentang kehilangan, tetapi tentang identitas yangterampas. Mereka tidak hanya kehilangan anak, saudara, atau kekasih, tetapi jugakehilangan tempat berpijak dalam realitas sosial. Mereka terisolasi—bukan hanyakarena negara mendiskreditkan mereka, tapi karena masyarakat pun, yang dicekokinarasi resmi, ikut menjauh. Kekuasaan menciptakan jarak yang melumpuhkan: antarayang tahu dan yang boleh tahu, antara yang ingat dan yang diminta melupakan.
Ketika seseorang hidup dalam dunia yang menolak pengakuan terhadap rasasakitnya, trauma menjadi semakin dalam. Tidak ada pengakuan, tidak ada validasi,dan yang tertinggal hanyalah kekosongan. Inilah yang dialami para penyintas dankeluarga korban dalam novel ini: luka yang tidak terlihat, tapi terus membusuk dalamdiam. Dan dalam konteks sosial yang lebih luas, ini juga membentuk pola diamkolektif. Sejarah yang dipelintir menciptakan generasi yang asing dengan kenyataanbangsanya sendiri, generasi yang tumbuh dalam ketidaktahuan, atau bahkan ketakutanuntuk tahu. Maka perjuangan mengingat tidak hanya soal keadilan bagi masa lalu, tapijuga pembebasan untuk masa depan.
Karya ini adalah bentuk arsip tandingan terhadap sejarah resmi yangdibungkam. Ia mengajukan satu pertanyaan yang mengguncang: jika negara bisadengan mudah menghapus seseorang dari kehidupan, bagaimana kita bisa percayapada sejarah yang mereka tulis? Maka Laut Bercerita hadir sebagai suara yangmembelah keheningan, sebagai bukti bahwa meski kekuasaan bisa membungkamtubuh, ia tak bisa selamanya membungkam kebenaran yang hidup di dalam ingatanmanusia.
Posting Komentar
0 Komentar